Senin, 27 Desember 2010

pemberdayaan masyrakat

UNSUR PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Pencemaran Dan Perusakan Lingkungan Hidup Oleh Proses Pembangunan
Pembangunan industri merupakan bagian dari pembangunan ekonomi jangka panjang untuk mencapai struktur ekonomi yang semakin seimbang dengan sektor industri yang maju dan didukung oleh sektor pertanian yang tangguh. Selanjutnya digariskan pula bahwa proses industrialisasi harus mampu mendorong berkembangnya industri sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi,pencipta lapangan kerja baru, sumber penigkatan ekspor,penghematan devisa penunjang pembangunan daerah,penunjang pembangunan sektor-sektor lainya sekaligus sebagai wahana pembangunan dan penguasaan teknologi.
Industrialisasi merupakan pilihan bagi bangsa Indonesia untuk menigkatkan kesejahteraan hidupnya. Hal tersebut antara lain disebabkan terbatasnya lahan pertanian. Industrialisasi merupakan suatu jawaban terhindarnya tekanan penduduk terhadap lahan pertanian. Yang perlu mendapat perhatian ialah bahwa industri merupakan salah satu sektor pembangunan yang sangat potensial untuk merusak dan mencemari lingkungan. Apabila hal ini tidak mendapat perhatian yang serius maka ada kesan bahwa antara industri dan lingkungan hidup tidak berjalan seiring,dalam arti semakin maju industri akan semakin rusak lingkungan hidup itu.
Industri yang menggunakan teknologi untuk menigkatkan tarif hidup manusia akan memberiukan dampak negative pula berupa pencemaran dan perusakan lingkungan. Unsur-unsur pokok yang diperlukan untuk kegiatan industri antara lain adalah ; sumber daya alam( berupa bahan baku ,energi dan air),sumber daya manusia (berupa tenaga kerja pada berbagai tingkat pendidikan),serta peralatan.
Kegiatan pembangunan industri yang melibatkan unsur-unsur tersebut dapat menimbulkan dampak negative yang berupa :
• Pandangan yang kurang menyenangkan pada wilayah industri.
• Penurunan nilai tanah disekitar wilayah industri bagi pemukiman.
• Timbul kebisingan yang ditimbulkan oleh peralatan mesin industri.
• Bahan-bahan buangan yang dikeluarkan industri dapat mengganggu atau mengotori udara,tanah dan air
• Perpindahan penduduk yang dapat menimbulkan dampak sosoial.
• Hasil produksi industri dapat mempengaruhi pola hidup masyarakat.


Timbulnya kecemburuan social.
Dampak tersebut sudah akan terjadi sejak perencanaan atau eksplorasi suatu industri,dan dapat terus berlanjut pada tahapan konstrukssi maupun operasinya. Oleh karena itu pembangunan industri tertutama pada awal perencanaan harus sudah memperhatikan faktor lingkungan ,kita harus berprinsip mencegah lebih baik dari pada mengobati.

Kesadaran Lingkungan dan perlindungan
Tujuan peningkatan kesadaran lingkungan yaitu memasyarakatkan lingkungan hidup,disini kita selain menanamkan pengertian masyarakat terhadap permasalahanya saja melainkan menumbuhkan rasa patisipasi untuk ikut serta memelihara sumber daya alam dan lingkungan hidup agar tetap dalam kondisi yang baik walaupun telah berkembangnya dunia teknologi dan industri.
Untuk itu diperlukan adanya masyarakat yang aktif mengawasi lingkungan hidup dan sumber daya alam disekitarnya secara langsung. Penigkatan kesadaran sebagaimana juga semua yang menyangkut lingkungan hidup harus berpacu dengan waktu, sebab perusakan-perusakan masih terus berlanjut dan makin meningkat. Karena daya terbatas dan sarana yang khusus untuk ini tidak ada,usaha dilakukan melalui sarana informasi yang telah ada dan terutama diarahkan kepada lembaga-lembaga dan kelompok-kelompok masyarakat yang strategis.
Maka sasaran dari program tersebut yakni memberikan informasi tentang pelestarian lingkungan hidup kepada pemuka masyarakat dari segala bidang (keagamaan,kewanitaan,pemuda dsb) serta organisasi-organisasi social. Usaha ini dilakukan dengan bantuan berbagai sarana penerangan dan penyuluhan pemerintah,media massa(pers,radio,televise)dan usaha-usaha lainya.
Usaha peningkatan kesadaran ini baru dimulai dan masih menghadapi berbagai kendala,umpamanya untuk mencapai petani miskin(petani gurem) yang sering merusak lingkungan karena keadaan ekonominya. Dengan identifikasi sasaran dan saluran yang lebih tepat dikalangan masyarakat,diharapkan bahwa usaha selanjutnya akan mampu menimbulkan proses penjalaran informasi yang cepat sehingga sumber daya alam yang kita miliki tetap terjaga keutuhanya walaupun telah terpakai.
Hubungan Kewenangan Pemerintah Daerah / kemauan politik
sebagaimana kita pahami, penggantian UU Nomor 5 tahun 1974 pada hakekatnya didorong oleh kekuatan filosofis untuk mempercepat perubahan paradigma dalam pola penyelenggaraan pemerintahan. Dalam hal ini, paradigma baru yang dikembangkan oleh UU No. 22 tahun 1999 bertumpu pada nilai-nilai demokratisasi, pemberdayaan dan pelayanan, yaitu suatu pemerintahan daerah yang memiliki keleluasaan dan pengambilan keputusan yang terbaik dalam kewenangannya, untuk mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya dalam mendukung kualitas pelayanan publik yang diberikannya kepada masyarakat.
Sesuai dengan perubahan paradigma tersebut, harus diakui bahwa semangat dan isi UU Nomor 22 tahun 1999 merupakan UU Pemerintahan Daerah yang paling demokratis – jika tidak dikatakan liberal. Hal ini terlihat dari ketentuan pasal 7, 9 dan 11 yang secara eksplisit mengamanatkan bahwa kewenangan Daerah Kabupaten / Kota mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal serta kewenangan bidang lain yang diatur kemudian oleh Peraturan Pemerintah (PP Nomor 25 Tahun 2000).
Dengan ketentuan tersebut, maka struktur kewenangan pemerintahan menjadi berubah, yakni dari piramida terbalik menjadi piramida normal. Artinya, kewenangan daerah sangat luas sesuai dengan paradigma otonomi yang luas, bulat dan utuh ; sementara kewenangan Pusat dan Propinsi sangat limitatif. Inilah sesungguhnya makna penerapan prinsip-prinsip demokratisasi, pemberdayaan masyarakat, serta peningkatan pemerataan dan keadilan daerah (Nisjar, 2000: 2).

Penciptaan Suasana ,Motifasi Dan Potensi Masyarakat
Salah satu usaha untuk mengembangkan potensi manusia adalah melalui pendidikan. Tanggung jawab dalam bidang pendidikan seharusnya didukung bersama antara pemerintah, masyarakat, dan para orang tua peserta didik. Kenyataannya, sampai saat ini yang lebih berperan adalah pemerintah dan para orang tua peserta didik.

Perubahan paradigma pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi menghendaki peranserta masyarakat untuk membantu pemerintah daerah dalam mengembangkan potensi daerah termasuk dalam bidang pendidikan. Hal ini tercantum dalam tujuan otonomi daerah yaitu memberdayakan masyarakat, meningkatkan peranserta masyarakat, termasuk dalam meningkatkan sumber dana dan dalam penyelenggaraan pendidikan termasuk dalam pendidikan inklusif (Inclusive Education).

Masyarakat sebagai salah satu penanggung jawab pendidikan termasuk pendidikan inklusif dapat berperanserta sebagai:
1. pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan pelaksanaan kebijakan pendidikan di sekolah;
2. pendukung (supporiting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah;
3. pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di sekolah; dan
4. mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di sekolah. Peran serta masyarakat (community based participation) dalam pendidikan inklusif dapat dilakukan secara perseorangan; kelompok; atau kelembagaan seperti yayasan, organisasi masyarakat, dan pihak swasta. Agar peran serta masyarakat luas terhadap pendidikan inklusif lebih berhasil dan tepat guna maka diperlukan suatu pedoman. Untuk itu perlu disusun Buku Pemberdayaan Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif.
Maka dengan demikian peluang masyarakat untuk mendapatkan penghidupan yang layak itu sudah terbuka lebar ,dengan diberdayakan nya masyrakat , utamanya pemberdayaan di bidang pendididkan ,p[eingkatan ekonomi kesehatan dan lain sebagainya









Tugas faktor faktor non ekonomi

UNSUR –UNSUR PEMBERDAYAAN MASYARAKAT




Zulkarnain
BIA1 07 070
ILMU EKONOMI DAN STUDY PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI
UNHALU
2010

Minggu, 21 November 2010

“Analisis Kausalitas Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi (Studi Kasus Perekonomian Indonesia Periode 1994.1 - 2003.4) dengan Metode Error Correction Model.

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar belakang
Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang sangat ditakuti oleh semua negara didunia, termasuk Indonesia. Apabila inflasi ditekan dapat mengakibatkan meningkatnya tingkat pengangguran, sedangkan tingkat pengangguran adalah salah satu simbol dari rendahnya produksi nasional yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (Maknun, 1995).
Pembicaraan mengenai Inflasi di Indonesia mulai populer ketika laju inflasi demikian tinggi hingga mencapai 650 persen pada dasawarsa 1960an. Berdasarkan pengalaman pahit teresebut, pemerintah berusaha untuk mengendalikan laju inflasi. Pada tahun 1972 sampai dengan 1980an rata-rata laju inflasi di Indonesia masih berada pada level dua digit, tetapi pada tahun 1984 sampai tahun 1996 laju inflasi dapat dikendalikan pada level satu digit. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada pertengahan tahun 1997membuat laju inflasi di Indonesia naik menjadi dua digit yaitu sebesar 11,05 persen dan mencapai puncaknya pada tahun 1998 sebesar 77,63 persen (Badan Pusat Statistik)
Kondisi perekonomian Indonesia pasca krisis moneter mulai mengalami perbaikan. Hal ini dilihat dari menurunnya laju inflasi sebesar 75,62 persen menjadi 2,01 persen pada tahun 1999. laju inflasi pada tahun 2001 sampai 2002 kembali naik pada level 2 digit yaitu sebesar 12,55 persen dan 10,05 persen. Dan PMA pada tahun 1999 19,7 persen dan pada tahun 2000 naik menjadi 41, 5 persen. Ini menunjukkan adanya pergerakan yang searah dalam perekonomian. Penyebab tingginya laju inflasi tersebut, selain kondisi keamanan dalam negeri yang kurang kondusif juga dipicu oleh kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, tarif listrik, dan telepon (Badan Pusat Statistik).
Berdasarkan latar belakang diatas diduga terdapat hubungan kausalitas antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Sehingga dalam skripsi ini penulis mengambil judul “Analisis Kausalitas Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi (Studi Kasus Perekonomian Indonesia Periode 1994.1 - 2003.4) dengan Metode Error Correction Model.

1.2 Masalah Penelitian
Dari latar belakang yang diuraikan di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana pola arah hubungan dan Dinamika antara Inflasi Dengan Penanaman Modal Asing Indonesia Tahun 1990 – 2008.

1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui Pola arah hubungan Dan Dinamika antara tingkat inflasi, dengan Penanaman Modal Asing di Indonesia tahun 1990 – 2008.

1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai pertimbangan bagi Bank Indonesia dalam merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan tingkat inflasi, dan Penanaman Modal Asing di Indonesia.
2. Menambah pengetahuan bagi penulis tentang hubungan antara tingkat inflasi, dan Penanaman Modal Asing Di Indonesia.
3. Penelitian ini diharapkan mampu menjadi bahan masukan dan perbandingan untuk penelitian sejenis.
4. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi data-data bagi penelitian selanjutnya.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Untuk menghindari kesalahan penafsiran dalam penelitian ini, ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada dua variabel yaitu hubungan antara tingkat inflasi indeks harga konsumen (IHK) dengan Penanaman Modal Asing di Indonesia pada periode 1990 sampai 2008.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Penanaman Modal Asing
Investasi asing merupakan kegiatan untuk upaya mentransformasikan sumber daya potensial menjadi salah satu kekuatan ekonomi riil. Sumber daya yang dimaksut adalah sumber daya daerah yang diolah dan di mamfaatkan untuk meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat secara adil dan merata.
Istilah penanman modal sebenarnya terjemahan bahasa asing yaitu : Investment. Peranan modal asing atau investasi asing, seringkali dipergunakan dalam artian yang berbeda-beda. Perbedaan penggunaan istilah investasi terletak pada cakupan dari makna yang dimaksudkan. Berikut beberapa defenisi yang dikemukakan beberapa ahli yang masing-masing sangat diwarnai oleh prespektifnya.”pengertian penanaman modal di dalam undang-undang hanya meliputi penanaman modal asing secara langsung yang dilakukan menurut atau berdasarkan ketentuan-ketentuan undang-undang yang digunakan untuk menjalankan perusahaan di Indonesia dalam arti bahwa pemilik modal secara langsung menanggung resiko penanaman modal tersebut.”
Kesimpulan dari devenisi Direct Investasi yaitu berupa penanaman modal atau investor diberikan keleluasaan pengusahaan dan penyelenggaraan pimpinan dari perusaahan di mana modalnya ditanam, dalam arti bahwa penam modal mempunyai pengsahaan atas modal. Jadi bahwa penenaman modal langsung itu artinya digunakan untuk menjalankan perusahaan di Indonesia.
Investasi asing (Foreign Investment) dibagi kedalam dua komponen, pertama; Investasi langsung (Direct Investment) yang melalui para investor berpartisipasi dalam manajemen perusahaan untuk meperoleh imbalan manajemen perusahaan untuk memperoleh imbalan dari modal yang mereka tanamkan. Kedua; investasi portofolio (Portofolio Investment ), yakni pembelian saham dan obligasi yang semata-mata tujuannya untuk meregug hasil dari dana yang ditanamkan. Investasi langsung yang melalui para investor berpartisipasi dalam manajemen perusahaan untuk memperoleh imbalan dari modal yang mereka tanamkan. Investasi asing langsung (FDI) adalah kepemilikan dan kendali asset asing. Dalam prakteknya, FDI biasanya melibatkan kepemilikan, sebagian atau keseluruhannya perusahaan di sebuah negara asing.
Investasi asing ynag langsung juga terjadi di mana aliansi strategi membuat berbagai sasaran tertentu tidak dapat diraih. Adakalanya perusahaan tidak dalam posisi mengendalikan penggunaan dan eksplotasi tegnologi mereka melalui usaha patungan atau lisensi, perusahaan yang keunggulan kompetitifnya tergantung pada hak paten dan bentuk-bentuk proteksi serupa termasuk dalam kategori ini. Investasi asing langsung dapat memberikan peluang pendayagunaan yang lebih efisien.

2.2 Investasi
2.2.1 Pengertian Investasi
Investasi merupakan pengeluaran yang ditujukan untuk meningkatkan atau mempertahankan stok barang modal yang terdiri dari mesin, pabrik, kantor dan produk-produk tahan lama lainnya yang digunakan dalam proses produksi (Julius A. Mulyadi, 1990: 268).
Menurut Paul A. Samuelson dan William D. Nordhaus (1993), investasi adalah pengeluaran yang dilakukan oleh penanam modal yang menyangkut penggunaan sumber-sumber seperti peralatan, gedung, peralatan produksi, dan mesin-mesin baru lainnya atau persediaan yang diharapkan akan memberikan keuntungan dari investasi.
Investasi merupakan salah satu komponen penting dalam Gross National Product (GNP). Di Indonesia, bagian dari investasi dalam produk domestik bruto selama tahun 1980-1985 sebesar 23%. Meskipun sumbangan ini masih relatif kecil, namun investasi tetap mempunyai peranan yang penting di dalam permintaan agregat. Investasi sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi serta perbaikan dalam produktivitas tenaga kerja. Pertumbuhan ekonomi sangat tergantung pada tenaga kerja dan jumlah (stock) kapital. Investasi akan menambah jumlah kapital. Tanpa investasi maka tidak akan ada pabrik atau mesin baru, dan dengan demikian tidak ada ekspansi (Nopirin, 1988: 133).
2.1.2 Jenis Investasi
Manfaat yang bisa diharapkan dari suatu paket modal asing berupa penyerapan tenaga kerja, alih teknologi, pelatihan manejerial dan perolehan devisa. Ada tiga jenis pengeluaran investasi,yaitu:
2.1.2.1 Investasi tetap bisnis (business fixed investment)
Mencakup peralatan dan struktur yang dibeli perusahaan untuk proses produksi. Bagian terbesar dari pengeluaran investasi, yaitu kira-kira tiga perempat dari totalnya, adalah investasi tetap bisnis. Model investasi tetap bisnis standar disebut model investasi neoklasik (neoclassical model of investment).
Model neoklasik mengkaji manfaat dan biaya bagi perusahaan untuk memiliki barang-barang modal. Model tersebut menunjukkan bagaimana tingkat investasi – tambahan persediaan modal – dikaitkan dengan produk marginal modal, tingkat bunga, aturan perpajakan yang mempengaruhi perusahaan.
a. Determinan investasi
Keputusan perusahaan yang terkait dengan persediaan modalnya yaitu, apakah melakukan penambahan atau membiarkannya mengalami penyusutan – bergantung pada apakah memiliki dan menyewakan modal menguntungkan atau tidak.
Perubahan dalam persediaan modal, yang disebut investasi neto (net investment), bergantung pada perbedaan antara produk marginal modal dan biaya modal. Jika produk marginal modal melebihi biaya modal, perusahaan menganggap akan menguntungkan bila mereka menambah persediaan modal. Jika produk marginal modal kurang dari biaya modal, mereka membiarkan persediaan modal mengecil. Penurunan tingkat bunga riil akan mengurangi biaya modal sehingga akan meningkatkan jumlah laba dari memiliki modal dan meningkatkan insentif untuk mengakumulasi lebih banyak modal.
b. Pajak dan investasi
Undang-undang pajak mempengaruhi insentif perusahaan untuk mengakumulasi modal dalam banyak cara. Dalam hal ini penulis mempertimbangkan dua provisi perpajakan perusahaan yang paling penting, yaitu: pajak pendapatan perusahaan dan kredit pajak investasi.
Pajak pendapatan perusahaan (corporate income tax) atau yang lazim disebut “PPh Badan” di Indonesia, adalah pajak atas laba perusahaan. Dampak dari pajak pendapatan perusahaan terhadap investasi bergantung pada bagaimana undang-undang mendefinisikan “laba” untuk tujuan perpajakan. Undang-undang mendefinisikan laba sebagai harga sewa modal dikurangi biaya modal. Dalam kasus ini, meskipun perusahaan akan membagi sebahagian laba mereka dengan pemerintah, masih rasional bagi mereka untuk melakukan investasi jika harga sewa modal melebihi biaya modal, dan melakukan disinvestasi jika harga sewa di bawah biaya modal. Pajak atas laba, yang diukur dengan cara ini tidak akan mengubah insentif investasi.
Kredit pajak investasi (investment credit tax) adalah provisi pajak yang mendorong akumulasi modal. Kredit pajak investasi mengurangi pajak perusahaan dalam jumlah tertentu untuk setiap dolar yang dikeluarkan atas barang-barang modal. Perusahaan memperoleh kembali sebagian dari pengeluarannya atas modal baru dalam pajak yang lebih rendah, kredit tersebut menurunkan harga beli efektif dari unit modal. Kredit pajak investasi menurunkan biaya modal dan meningkatkan investasi.
c. Pasar saham dan q Tobin
Istilah saham (stock) mengacu pada bagian dalam kepemilikan perusahaan, dan pasar saham (stock market) adalah pasar di mana saham-saham ini diperdagangkan. Harga saham cenderung menjadi tinggi ketika perusahaan mempunyai banyak peluang bagi investasi yang menguntungkan, karena peluang laba ini berarti pendapatan masa depan yang lebih tinggi untuk pemegang saham. Harga saham mencerminkan insentif untuk investasi.
2.1.2.2 Investasi resedensial (residential investment)
Mencakup rumah baru yang orang baru beli untuk tempat tinggal dan yang dibeli tuan tanah untuk disewakan.
a. Ekuilibrium saham dan penawaran aliran investasi
Model ini terdiri dalam dua bagian. Pertama, pasar untuk stok rumah yang telah ada yang menentukan harga rumah ekuilibrium. Kedua, harga rumah yang menentukan aliran investasi resedensial.
Model investasi resedensial serupa dengan teori q investasi tetap bisnis. Menurut teori q, investasi tetap bisnis tergantung pada harga tetap pasar atas modal terpasang relatif terhadap biaya penggantiannya; harga relatif ini, akan bergantung pada laba yang diharapkan dari memliki modal terpasang. Menurut model pasar rumah ini, investasi resedensial bergantung pada harga relatif rumah. Harga relatif rumah, akan bergantung pada permintaan terhadap rumah, yang bergantung pada harga sewa yang orang harapkan bila ia menyewakan rumahnya. Harga relatif rumah memainkan peran yang sama untuk investasi resedensial sebagaimana teori q Tobin untuk investasi tetap bisnis.
b. Perlakuan pajak rumah
Sebagaimana mempengaruhi akumulasi investasi tetap bisnis, undang-undang pajak juga mempengaruhi akumulasi investasi resedensial. Dalam hal ini, dampaknya nyaris berlawanan. Undang-undang pajak menghambat investasi, seperti yang dilakukan pajak perusahaan terhadap perusahaan, pajak pendapatan perseorangan juga mendorong rumah tangga melakukan investasi dalam perumahan.
Besarnya subsidi kepada para pemilik rumah ini bergantung pada tingkat inflasi. Nilai dari subsidi akan lebih tinggi pada tingkat inflasi yang lebih tinggi karena tingkat bunga nominal atas hipotek naik ketika inflasi naik.
2.1.2.3 Investasi persediaan (inventory investment)
Mencakup barang-barang yang disimpan perusahaan di gudang, termasuk barang-barang dan persediaan, barang dalam proses, dan barang jadi. Investasi persediaan merupakan salah satu komponen pengeluaran terkecil, rata-rata sekitar satu persen dari GDP (Gross Domestik Product).
a. Alasan menyimpan persediaan
40 Salah satu kegunaan persediaan adalah untuk memeratakan tingkat produksi sepanjang waktu. Motif ini disebut pemerataan produksi (production Smoothing).
Alasan kedua untuk menyimpan persediaan adalah persediaan membuat perusahaan beroperasi secara lebih efisien. Persediaan sebagai faktor produksi (inventories as a factor of production): semakin besar persediaan yang disimpan, semakin besar output yang dapat diproduksi.
Alasan ketiga untuk menyimpan persediaan adalah menghindari kehabisan barang ketika penjualan tiba-tiba melonjak. Perusahaan seringkali harus membuat keputusan produksi sebelum mengetahui tingkat permintaan pelanggan. Motif untuk menyimpan persediaan ini disebut pencegahan kehabisan barang-barang (stock-out avoidance).
Alasan keempat untuk menyimpan persediaan berhubungan dengan proses produksi. Beberapa barang mungkin membutuhkan beberapa tahap dalam produksi dan karena itu, membutuhkan waktu. Persediaan ini disebut barang dalam proses (work in process).
b. Model percepatan persediaan
Sebuah model sederhana yang dapat menjelaskan data dengan baik, tanpa menyokong motif tertentu adalah model percepatan (accelerator model). Model percepatan persediaan mengasumsikan bahwa perusahaan menyimpan persediaan yang proporsional terhadap tingkat output perusahaan. Perusahaan-perusahaan manufaktur memerlukan lebih banyak bahan serta persediaan yang disimpan ketika tingkat output tinggi dan mereka memiliki lebih banyak barang dalam proses.
c. Persediaan dan tingkat bunga riil
Seperti komponen investasi lain, investasi persedian bergantung pada tingkat bunga riil. Tingkat bunga riil mengukur biaya oportunitas dari menyimpan persediaan. Menyimpan persediaan akan lebih mahal apabila tingkat bunga riil naik sehingga perusahaan yang rasional berusaha menurunkan persediaannya.

2.1.3 Faktor Penentu Investasi
Faktor-faktor penentu investasi sangat tergantung pada situasi di masa depan yang sulit untuk diramalkan, maka investasi merupakan komponen yang paling mudah berubah. Penanaman modal asing langsung merupakan investasi yang dilakukan oleh swasta asing ke suatu negara tertentu. Bentuknya dapat berupa cabang perusahaan multinasional, license, joint venture atau lainnya.
Pandangan Keynes bahwa jumlah investasi yang dilakukan para pengusaha tidak sepenuhnya ditentukan oleh tingkat bunga. Keynes tetap mengakui bahwa tingkat bunga memegang peranan yang cukup menentukan di dalam pertimbangan para pengusaha melakukan investasi. Tetapi di samping faktor itu terdapat beberapa faktor penting lainnya, seperti keadaan ekonomi pada masa kini, ramalan perkembangannya di masa depan, dan luasnya perkembangan teknologi ang berlaku. Apabila tingkat kegiatan ekonomi pada masa kini adalah menggalakkan dan di masa depan diramalkan perekonomian akan tumbuh dengan cepat, maka walaupun tingkat bunga adalah tinggi, para pengusaha akan melakukan banyak investasi. Sebaliknya, walaupun tingkat bunga rendah, investasi tidak akan banyak dilakukan apabila barang-barang modal yang terdapat dalam perekonomian digunakan pada tingkat yang jauh lebih rendah dari kemampuannya yang maksimal (Sadono Sukirno, 1994: 76).
Faktor-faktor utama yang menentukan tingkat investasi dalam suatu perekonomian antara lain, yaitu:
1. Tingkat keuntungan investasi yang diramalkan akan diperoleh
2. Tingkat bunga
3. Ramalan mengenai keadaan ekonomi di masa depan
4. Kemajuan teknologi
5. Tingkat pendapatan nasional dan perubahan-perubahannya
6. Keuntungan yang diperoleh perusahaan-perusahaan

2.3 Inflasi
2.3.1 Pengertian Inflasi
Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak disebut sebagai inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas kepada (atau mengakibatkan kenaikan) sebagian besar dari harga barang-barang lain. Syarat adanya kecenderungan menaik yang terus menerus juga perlu diingat. Kenaikan harga-harga karena misalnya: musiman, menjelang hari-hari besar, atau yang terjadi sekali saja(dan tidak mempunyai pengaruh lanjutan) tidak disebut inflasi. Kenaikan harga semacam ini tidak dianggap masalah atau “penyakit” ekonomi dan tidak memerlukan kebijaksanaan khusus untuk menanggulanginya (Boediono, 1990: 161).
Inflasi terjadi karena jumlah uang beredar naik. Keynesian berpendapat bahwa pengaruh kenaikan jumlah uang terhadap kegiatan ekonomi itu tidak langsung, tetapi melalui beberapa jalur. Salah satu jalur adalah tingkat bunga. Kebijaksanaan moneter yang ekspansip (penambahan jumlah uang) akan menyebabkan penurunan tingkat bunga sehingga dapat mendorong investasi naik.
Menurut Nopirin (2000: 176), inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas kepada atau mengakibatkan kenaikan sebagian besar dari barang-barang lain.
Ada tiga indeks yang biasa digunakan untuk mengukur tingkat inflasi, yaitu:
1. Indeks harga barang-barang konsumsi (consumer price index)
2. Indeks harga grosir (wholesale price index)
3. Deflator pendapatan nasional (GNP deflator atau GDP deflator)

2.3.2 Jenis-jenis Inflasi
2.3.2.1 Inflasi Menurut Sebabnya
Menurut teori kuantitas, sebab utama timbulnya inflasi adalah kelebihan permintaan yang disebabkan karena penambahan jumlah uang beredar. Menurut penyebabnya inflasi dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Demand Pull Inflation (inflasi tarikan permintaan)
Inflasi jenis ini terjadi dikarenakan adanya kenaikan permintaan agregat karena penawaran agregat tetap. Akibatnya terjadi kenaikan harga barang dan jasa.
Inflasi ini sering disebut sebagai inflasi murni yang bermula dari adanya kenaikan permintaan total (agregate demand), sedangkan produksi telah berada pada keadaan kesempatan kerja penuh atau hampir mendekati kesempatan kerja penuh, kenaikan permintaan total di samping menaikkan harga dapat juga menaikkan hasil produksi (output). Apabila kesempatan kerja penuh (full-employment) telah tercapai, penambahan permintaan selanjutnya hanyalah akan menaikkan harga saja (sering disebut dengan inflasi murni).


2 Cost Push Inflation (inflasi desakan biaya)
Inflasi jenis ini terjadi karena adanya kenaikan harga faktor input produksi, misalnya: kenaikan harga BBM, tarif dasar listrik dan upah tenaga kerja. Naiknya harga input produksi menyebabkan naiknya biaya produksi. Dengan modal yang tetap, naiknya biaya produksi akan mengurangi kemampuan perusahaan dalam menghasilkan output.
Berbeda dengan demand-pull inflation, cost-push inflation biasanya ditandai dengan kenaikan harga serta turunnya produksi. Jadi inflasi yang bersamaan dengan terjadinya resesi. Keadaan ini timbul dimulai dengan adanya penurunan dalam penawaran total (agregate supply) sebagai akibat kenaikan biaya produksi. Kenaikan produksi tersebut pada akhirnya akan menaikkan harga dan menyebabkan turunnya produksi.

2.3.2.2 Inflasi Menurut Parah Tidaknya
Jenis ini dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu:
1. Inflasi ringan (di bawah 10% setahun)
2. Inflasi sedang (antara 10-30% setahun)
3. Inflasi berat (antara 30-100% setahun)
4. Hiperinlasi (di atas 100% setahun)

2.3.3 Dampak Inflasi
Prospek pembangunan ekonomi jangka panjang akan menjadi semakin memburuk sekiranya inflasi tidak dapat dikendalikan. Inflasi cenderung akan menjadi bertambah cepat apabila tidak diatasi. Inflasi yang bertambah serius tersebut cenderung untuk mengurangi investasi yang produktif, mengurangi ekspor dan menaikkan impor. Kecenderungan inflasi ini akan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Akibat buruk inflasi dapat dibedakan ke dalam dua aspek, yaitu:
1. Pada perekonomian meliputi:
a. Tingkat bunga meningkat dan akan mengurangi investasi
Suku bunga nominal adalah suku bunga riil ditambah dengan inflasi, maka makin tinggi tingkat inflasi akan berakibat naiknya suku bunga. Naiknya suku bunga nominal berakibat naiknya suku bunga kredit, sehingga akan menurunkan investasi nasional.
b. Menimbulkan masalah neraca pembayaran
Inflasi yang terjadi di suatu negara tidak dapat dikendalikan maka akan terjadi kenaikan impor besar-besaran sehingga impor lebih besar dari ekspor. Di samping itu aliran modal ke luar akan lebih banyak daripada yang masuk ke dalam negeri. Barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat negara itu akan mengakibatkan defisit neraca pembayaran. Hal ini seterusnya akan menimbulkan kemerosotan nilai mata uang.
c. Menaikkan penanaman modal spekulatif
Dalam kondisi inflasi biasanya harga barang-barang tetap naik lebih tinggi dibandingkan inflasinya, misalnya: harga tanah dan bangunan. Hal ini akan membuat pemilik uang lebih menyukai penanaman modal spekulatif. Membeli rumah dan tanah serta menyimpan barang yang berharga akan lebih menguntungkan daripada melakukan investasi yang produktif.
d. Inflasi menimbulkan ketidakpastian mengenai keadaan ekonomi dimasa depan
inflasi akan bertambah cepat jalannya apabila tidak dikendalikan. Pada akhirnya inflasi akan menimbulkan ketidakpastian dan arah perkembangan ekonomi tidak lagi dapat diramalkan dengan baik. Keadaan ini akan mengurangi kegairahan pengusaha mengembangkan ekonomi.

2. Inflasi terhadap individu atau masyarakat
a. Memperburuk distribusi pendapatan
Dalam masa inflasi nilai harta-harta tetap seperti tanah, rumah, bangunan pabrik dan pertokoan akan mengalami kenaikan harga yang adakalanya lebih cepat dari kenaikan inflasi itu sendiri. Sebaliknya, penduduk yang tidak mempunyai harta yang meliputi sebahagian besar dari golongan masyarakat berpendapatan rendah, pendapatan riilnya merosot sebagai akibat inflasi. Dengan demikian inflasi melebarkan ketidaksamaan distribusi pendapatan.


b. Menurunkan pendapatan riil
Sebagian tenaga kerja di setiap negara terdiri dari pekerja-pekerja bergaji tetap. Dalam masa inflasi biasanya kenaikan harga-harga selalu mendahului kenaikan pendapatan. Dengan demikian, Inflasi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan menurun yang dicerminkan oleh turunnya daya beli masyarakat.
c. Menurunnya nilai riil tabungan
Suku bunga tabungan tidak dinaikkan atau sama dengan tingkat inflasi maka nilai riil tabungan terjadi penurunan. Selain bermanfaat untuk memobilisasi tabungan, inflasi juga bisa mendorong tumbuhnya perusahaan swasta, yaitu ketika inflasi dianggap bisa membantu menarik tenaga kerja dan kapital dari sektor ekonomi yang sedang mengalami penurunan menuju sektor yang dinamis. Dengan demikian inflasi terutama yang moderat tidak hanya dipandang sebagai tidak terhindarkan, tetapi bahkan diinginkan. Pengalaman sejak tahun 1950 menyarankan bahwa inflasi tidak terhindarkan di negara berkembang yang sedang mempercepat peningkatan pendapatan per kapita: faktor-faktor produksi relatif immobile dalam jangka pendek dan suplai mengalami ketidakseimbangan.

2.4 Hubungan Inflasi Dan Penanaman Modal Asing
Pandangan Keynes bahwa jumlah investasi yang dilakukan para pengusaha tidak sepenuhnya ditentukan oleh tingkat bunga. Keynes tetap mengakui bahwa tingkat bunga memegang peranan yang cukup menentukan di dalam pertimbangan para pengusaha melakukan investasi. Tetapi di samping faktor itu terdapat beberapa faktor penting lainnya, seperti keadaan ekonomi pada masa kini, ramalan perkembangannya di masa depan, dan luasnya perkembangan teknologi yang berlaku. Apabila tingkat kegiatan ekonomi pada masa kini adalah menggalakkan dan di masa depan diramalkan perekonomian akan tumbuh dengan cepat, maka walaupun tingkat bunga adalah tinggi, para pengusaha akan melakukan banyak investasi. Sebaliknya, walaupun tingkat bunga rendah, investasi tidak akan banyak dilakukan apabila barang-barang modal yang terdapat dalam perekonomian digunakan pada tingkat yang jauh lebih rendah dari kemampuannya yang maksimal (Sadono Sukirno, 1994: 76).
Paradigma uang aktif mengacu pada atau dapat dijelaskan dengan teori Kuantitas Uang. Jika inflasi didefiniskan sebagai perubahan sebagai persentase tingkat harga, maka teori Kuantitas Uang menjelaskan bahwa inflasi adalah yaitu % perubahan M + % perubahan V = % perubahan P + % perubahan T. Mengacu pada teori ini, dapat dikatakan bahwa bank sentral yang mengendalikan atau mengontrol penawaran uang (money supply) akan mempunyai kemampuan penuh untuk mengendalikan inflasi (Irawan, 2004).

Prospek pembangunan ekonomi jangka panjang akan menjadi semakin memburuk sekiranya inflasi yang terjadi tidak dapat dikendalikan. Laju inflasi cenderung akan menjadi bertambah cepat apabila tidak diatasi. Dengan laju inflasi yang bertambah serius tersebut cenderung untuk mengurangi investasi yang produktif, mengurangi ekspor dan menaikkan impor. Dampak selanjutnya akan memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Inflasi adalah salah satu hal yang mempengaruhi berbagai kegiatan perekonomian khususnya moneter . Salah satu sasaran bank sentral adalah menjaga Inflasi. Ini dikaitkan dengan banyaknya dampak yang akan ditimbulkan apabila inflasi tidak terjaga. Salah satu hal yang dapat dipengaruhi oleh inflasi yaitu penanaman modal Asing. Ini terjadi pada saat ekonomi dikatakan baik pada saat angka inflasi yang terjaga sehingga Investasi akan masuk akan tetapi jika inflasi mengalami kenaikan yang cukup besar maka investasi akan mengalami penurunan.
Menurut Neny Erawati dan Richard Llewelyn, Tingkat laju inflasi ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran terhadap barang dan jasa yang mencerminkan perilaku para pelaku pasar atau masyarakat. Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat tersebut adalah ekspektasi terhadap laju inflasi di masa yang akan datang. Ekspektasi laju inflasi yang tinggi akan mendorong masyarakat untuk mengalihkan aset finansial yang dimilikinya menjadi asset riil, seperti tanah, rumah, dan barang-barang konsumsi lainnya. Begitu juga sebaliknya ekspektasi laju inflasi yang rendah akan memberikan insentif terhadap masyarakat untuk menabung serta melakukan investasi pada sektor-sektor produktif.
Menurut Sugeng Purwanto, kenaikan laju inflasi akan menaikan tingkat suku bunga nominal yaitu sebagai sebagai kompensasi dan penyesuaian dalam perekonomian atas penurunan daya beli karena kenaikan laju inflasi pada gilirannya kenaikan tingkat inflasi akan menyebabkan penurunan kegiatan investasi karena dua hal, yaitu karena dua hal, yaitu karena tabungan turun dan karena imbal hasil investasi yang diharapkan oleh investor naik. orang lebih senang melakukan kegiatan konsumsi dibandingkan dengan menabung atau investasi. kenaikan tingkat suku bunga nominal akan menghambat kegiatan investasi karena tingkat imbal hasil yang diharapkan dan biaya modal akan makin tinggi sehingga kegiatan investasi menjadi kurang menarik. secara umum dari sisi makro ekonomi, insentif bagi pengalakan investasi adalah laju inflasi rendah, dan tingkat suku bunga.
Pemikiran Dasar dari Model-model Keynes adalah bahwa laju inflasi cenderung meningkat dalam jangka pendek sebagai akibat dari relatif tetapnya jumlah produksi di dalam ekonomi. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya Investasi (kapital) dan teknologi dalam jangka pendek sehingga kapasitas produksi tidak bisa dikembangkan.
Permintaan agregat terdiri dari pengeluaran rumah tangga (konsumsi), investasi, pengeluaran pemerintah dan sektor luar negeri (ekspor minus impor). Dalam hal demand pull inflation, ekses permintaan terjadi karena permintaan agregat naik ini diakibatkan oleh berbagai faktor seperti moneter misal ekspansi kredit atau perubahan suku bunga ( Jatno Sunarjo dan Isnina Wahyuning).
2.5 Kebijakan Moneter (Monetary Policy)
Kebijakan moneter dapat diartikan sebagai upaya Bank Sentral untuk mempengaruhi perkembangan moneter (uang beredar, suku bunga, kredit dan nilai tukar) untuk mencapai tujuan ekonomi tertentu. Secara umum, kebijakan moneter dapat dibedakan menjadi (i) kebijakan moneter ketat (kontraktif) yaitu kebijakan moneter yang dimaksudkan untuk menekan laju inflasi dalam perekonomian yang diakibatkan oleh banyaknya uang yang beredar di masyarakat, dan (ii) kebijakan moneter longgar (ekspansif) yaitu suatu kebijakan moneter yang didesain untuk memberikan stimulus bagi perekonomian. Uraian tersebut menunjukkan bahwa penerapan kebijakan moneter disesuaikan dengan kondisi perekonomian, sehingga jumlah uang yang beredar akan berada pada suatu jumlah yang telah ditetapkan oleh otoritas moneter (Natsir, 2008: 33).
Adapun tujuan dari kebijakan moneter adalah untuk membantu mencapai sasaran makroekonomi antara lain: (i) pertumbuhan ekonomi, (ii) penyediaan lapangan kerja, (iii) stabilitas harga dan (iv) keseimbangan neraca pembayaran. Keempat sasaran tersebut merupakan tujuan atau sasaran akhir kebijakan moneter (final target). Idealnya, semua sasaran akhir kebijakan moneter harus dapat dicapai secara bersamaan dan berkelanjutan. Namun, pengalaman di banyak negara termasuk di Indonesia menunjukkan bahwa hal yang dimaksud sulit dicapai, bahkan ada kecenderungan bersifat kontradiktif. Misalnya kebijakan moneter kontraktif untuk menekan laju inflasi dapat berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan penciptaan kesempatan kerja (Natsir, 2008: 33).
Mayoritas di negara-negara berkembang termasuk Indonesia mereorientasi tujuan akhir kebijakan moneternya dari multiple objectives menjadi single objective, yaitu lebih memfokuskan pada sasaran tunggal stabilitas harga (inflasi). Untuk dapat mencapai tujuan akhir kebijakan moneter, Bank Sentral memiliki beberapa pilihan mengenai kerangka atau strategi kebijakan moneter dimana masing-masing kerangka memilki karakteristik sesuai dengan indikator yang digunakan sebagai jangkar nominal atau semacam sasaran antara dalam mencapai tujuan akhir.
Selain kerangka kebijakan moneter, instrumen pengendalian moneter juga merupakan faktor penting dalam pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter dimana instrumen tersebut adalah alat-alat atau media operasi moneter yang digunakan oleh Bank Sentral dalam mempengaruhi sasaran operasional dan sasaran akhir yang telah ditetapkan. Secara khusus, instrumen pengendalian moneter terdiri dari:
1. Operasi Pasar Terbuka (OPT): operasi Bank Sentral di pasar uang yang dilakukan dengan cara menjual dan membeli surat berharga, misalnya Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
2. Tingkat Bunga Diskonto: fasilitas pinjaman jangka pendek dari Bank Sentral kepada bank-bank komersial dalam pengendalian likuiditasnya.
3. Giro Wajib Minimum (Reserve requirement): giro wajib minimum yang harus dipelihara oleh bank-bank komersial di bank sentral.
4. Himbauan Moral (Moral suation) Instrumen ini bersifat kualitatif karena hanya berupa himbauan yang sifatnya mengarahkan atau memberikan informasi makro untuk dijadikan masukan bagi bank-bank umum dalam manajemen asset dan kewajibannya (Natsir, 2008: 50).
Selanjutnya, para ekonom dan praktisi bank sentral telah melakukan perebatan apakah akan menggunakan rules atau discretion dalam mengimplementasikan kebijakan moneter. Dalam pendekatan rules (rules-base policy), maka implementasi kebijakan moneter mengacu pada suatu aturan baku yang diumumkan kepada publik yang merupakan komitmen bank sentral untuk mencapai target nominal tertentu atau dilakukan dengan cara merespon kondisi yang sedang dihadapi yang telah diperhitungkan pada saat perumusan kebijakan.
Lebih lanjut Taylor (1996) menjelaskan bahwa perilaku pendekatan rules-base policy adalah sistematis. Artinya pendekatan rules-base policy berdasarkan metodologi dan perencanan, bukan berdasarkan langkah yang bersifat kasual dan acak. Salah satu contoh rules adalah proposal yang diajukan oleh Friedman dalam (Bernanke et al.,(1999: 5) yang menganjurkan agar kebijakan moneter didasarkan pada pertumbuhan jumlah uang beredar yang konstan (the constant-money-growth rule).
Sedangkan, pada pendekatan discretion (discretion base-policy) mengacu pada evaluasi dari waktu ke waktu yang memperhitungkan kondisi yang sedang berlangsung dan menganggap perkembangan serta kebijakan masa lalu sebagai sesuatu yang tidak relevan. Mankiw (2003:381) menyatakan bahwa dalam pendekatan discretion, para pembuat kebijakan moneter bebas membuat penilaian terhadap berbagai peristiwa yang terjadi dan memilih kebijakan apapun yang tepat pada saat itu. Artinya, dalam pendekatan discretion otoritas moneter memiliki kebebasan dalam menjalankan kebijakan moneter sesuai dengan kondisi aktual yang dihadapi oleh suatu perekonomian.
Para ekonom yang mendukung pendekatan discretion mengacu pada pandangan bahwa terdapat ketidakpastian (uncertainty) dalam manajemen moneter, khususnya ketidakpastian dalam transmisi kebijakan moneter yang meliputi: parameter uncertainty, lag uncertainty, and uncertainty about the nature of the shock. Apabila respon kebijakan moneter diserahkan pada suatu rules, maka akan bersifat mekanis dan tidak produktif bagi perekonomian.
Setelah melalui perdebatan panjang mengenai pilihan terhadap kedua pola pelaksanaan kebijakan moneter, maka ditetapkan konsensus bahwa bank sentral tidak dapat menerapkan kebijakan moneter sepenuhnya berdasarkan pada discretion. Karena pada sisi lain, beberapa rules diyakini sebagai suatu prasyarat bagi penerapan kebijakan moneter yang baik sehingga penerapan kebijakan moneter tanpa menggunakan suatu rule tertentu mungkin akan menimbulkan konsekuensi sebaliknya (Samuelson dan Nordhaus, 2004: 204).
Selanjutnya sasaran operasional atau sasaran kerja merupakan sasaran segera yang dicapai dalam operasi moneter. Variabel sasaran operasional digunakan untuk mengarahkan sasaran antara pada pendekatan kuantitas. Penetapan sasaran operasional tergantung pada jalur mana yang diyakini efektif dalam transmisi kebijakan moneter. Kriteria sasaran operasional antara lain: (1). Dipilih dari variabel moneter yang memiliki hubungan yang stabil dengan sasaran antara, (2). Dapat dikendalikan oleh bank sentral, (3). Tersedia lebih segera dibanding sasaran antara, akurat dan tidak sering direvisi (Natsir, 2008: 16).
Sehubungan dengan pemilihan variabel untuk sasaran operasional, Boediono (1998) menyatakan bahwa terdapat diskusi di antara pakar moneter dan praktisi di bank sentral tentang issue mengenai apakah quantity targeting (uang beredar) atau price targeting (suku bunga) yang lebih efektif. Menariknya persoalan ini karena perubahan-perubahan mendasar dalam perekonomian dapat menyebabkan efektivitas kebijakan moneter menjadi kurang efektif. Untuk alasan itu, paradigma lama yang berpandangan bahwa otoritas moneter dapat mempengaruhi permintaan agregat melalui pengendalian uang beredar (M1) dan (M2) sebagai sasaran antara dan uang primer (M0) sebagai sasaran operasional, mulai dipertanyakan efektivitasnya.
Keraguan para pakar moneter dan praktisi di bank sentral terhadap efektivitas quantity targeting didukung oleh studi Bond dalam Irawan (2004) yang menyimpulkan bahwa reformasi keuangan di Indonesia menyebabkan hubungan antara uang beredar, laju inflasi dan pertumbuhan ekonomi menjadi semakin melemah atau tidak kuat. Bahkan terjadi sebaliknya, bahwa jumlah uang beredar (M1 dan M2) sangat dipengaruhi oleh perkembangan perekonomian. Studi tersebut menyimpulkan bahwa paradigma lama yang menyatakan bahwa jumlah uang beredar dapat dikendalikan sepenuhnya oleh bank sentral melalui quantity targeting tampaknya semakin tidak dapat dipertahankan dan sebagian besar bank sentral beralih pada price targeting atau pentargetan suku bunga.
Pembahasan tentang pilihan antara price atau quantity targeting dapat lebih dipahami dengan cara menganalisis paradigma uang aktif (active money) dan paradigma uang pasif (passive money). Perbedaan kedua paradigma ini dapat dipahami dengan melihat peran kesenjangan output (output gap) dan ekspansi likuiditas sebagai kausal/penyebab dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter. Paradigma uang pasif meyakini bahwa uang bereaksi secara pasif terhadap perubahan output, harga dan suku bunga. Sebaliknya dalam paradigma uang aktif, berpandangan bahwa uang bereaksi secara aktif dalam perekonomian sehingga dapat menyebabkan perubahan output, harga dan suku bunga.
Lebih lanjut, paradigma uang pasif meyakini bahwa kesenjangan output menjadi penyebab dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter. Menurut paradigma ini, kebijakan moneter akan menpengaruhi tingkat suku bunga jangka pendek dan nilai tukar. Perubahan pada suku bunga dan nilai tukar akan mempengaruhi perkembangan variabel permintaan, kesenjangan output, ekspektasi inflasi dan pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat inflasi. Paradigma uang pasif dapat dijelaskan melalui pendekatan kurva I-S (Invesment-Saving). Kurva I-S menggambarkan kondisi moneter dan kesenjangan output serta kurva Philips yang menghubungkan antara kesenjangan output dan ekspektasi inflasi dengan perubahan inflasi di masa yang akan datang.
Paradigma uang pasif memandang bahwa variabel-variabel likuiditas, misalnya uang dan kredit tidak menjadi kausal dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter. Perkembangan variabel-variabel ini dari waktu ke waktu hanya menyesuaikan diri secara pasif terhadap variabel permintaan dan inflasi. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa permintaan dan penawaran uang selalu berada dalam keseimbangan. Sehingga besaran likuiditas hanya menyesuaikan secara pasif terhadap besaran permintaan dan inflasi.
Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan sebab akibat antara perubahan likuiditas dan inflasi. Kenaikan pada tingkat inflasi tidak harus diawali dengan peningkatan likuiditas dan inflasi yang berkepanjangan tidak harus didahului kebijakan ekspansi likuiditas. Para penganut paradigma uang pasif menganggap bahwa besaran-besaran moneter berfungsi sebagai leading indicator dalam mekanisme transmisi moneter.
Sedangkan paradigma uang aktif meyakini bahwa besaran likuiditas menjadi penyebab dan karenanya tidak hanya menyesuaikan diri secara pasif dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter. Kelebihan likuiditas dan ekspansi likuiditas akan menyebabkan perilaku perekonomian yang mendorong pembentukkan besaran harga. Paradigma ini menganggap bahwa suku bunga sebagai resultante dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter.
Paradigma uang aktif mengacu pada atau dapat dijelaskan dengan teori Kuantitas Uang. Jika inflasi didefiniskan sebagai perubahan sebagai persentase tingkat harga, maka teori Kuantitas Uang menjelaskan bahwa inflasi adalah yaitu % perubahan M + % perubahan V = % perubahan P + % perubahan T. Mengacu pada teori ini, dapat dikatakan bahwa bank sentral yang mengendalikan atau mengontrol penawaran uang (money supply) akan mempunyai kemampuan penuh untuk mengendalikan inflasi (Irawan, 2004).
Paradigma uang aktif berpandangan bahwa terdapat ketidakseimbangan yang berkelanjutan antara permintaan dan penawaran uang. Akibatnya, perubahan harga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses jangka panjang untuk memulihkan keseimbangan moneter. Proses terbentuknya inflasi dapat diidentifikasi melalui kedua paradigma tersebut, meskipun tidak secara jelas dan tidak memuaskan, sehingga memungkinkan tereduksinya karateristik kotak hitam yang terdapat pada mekanisme transmisi kebijakan moneter.

2. 6 Hasil Penelitian Terdahulu
Penelitian Yunita Setyawati 2006, Analisis kausalitas inflasi dan pertumbuhan ekonomi (kasus perekonomian indonesia tahun 1994.1 – 2003.4) Dengan metode error corection modeldari hasil peneilitian dengan menggunakan Uji Kausalitas Granger dengan alternatif pengujian kausalitas Granger model Koreksi Kesalahan (Error Correction Model), antara variabel inflasi dan PDB (Pertumbuhan Ekonomi) dapat diambil kesimpulan bahwa Hasil dari uji stasioneritas menunjukkan bahwa data stasioner dan terkointegrasi sehingga kedua variabel yaitu inflasi dan GDP mempunyai hubungan jangka panjang. Dan Hasil uji kausalitas Granger dengan model koreksi kesalahan menunjukkan adanya kausalitas satu arah antara GDP dan inflasi, ini berarti peningkatan GDP / pertumbuhan ekonomi akan berdampak juga pada terjadinya inflasi. Oleh karena itu pada kasus perekonomian Indonesia apabila ingin tercapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi maka harus menerima tingkat inflasi yang tinggi. Karena itu sebaiknya pemerintah tidak perlu mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan mengorbankan stabilitas harga.
Penggunaan metode ECM pada penelitian ini dikarenakan kelebihan dari metode ini mampu memprediksi adanya hubungan jangka panjang antara variabel petumbuhan ekonomi dan inflasi, selain itu model ini juga memasukkan adanya penyesuaian untuk melakukan koreksi bagi ketidakseimbangan jangka pendek. Namun penggunaan yang paling utama dalam penelitian ini adalah untuk menghindari terjadinya regresi lancung (spurious regression).
Pengujian model ECM mampu meyempurnakan pengujian kausalitas model Granger standar yang hanya mampu mengestimasi ada tidaknya kausalitas akan tetapi tidak dapat menunjukkan nilai kelambanan (lag) yang optimal. Dalam model ECM selain mampu mengestimasi kausalitas, arah hubungan kausalitas, serta nilai kelambanan (lag) yang optimal.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa antara variabel pertumbuhan ekonomi dan inflasi terdapat hubungan kausalitas searah. Sehingga variabel pertumbuhan ekonomi menyebabkan terjadinya inflasi, sedangkan inflasi tidak menyebabkan pertumbuhan ekonomi.
Hasil Penelitian Aguslan Hadi tahun 2006, penelitian yang telah dilakukan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi investasi asing, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Variabel tingkat suku bunga deposito berjangka Rp bank pemerintah per 12 bulan tidak signifikan terhadap investasi asing yang berarti berlawanan dengan hipotesis. Hal ini didasarkan pada pandangan Keynes yang mengatakan bahwa investasi tergantung kepada banyak faktor termasuk tingkat bunga. Di samping investasi ditentukan pula kepada keadaan masa kini, ramalan mengenai keadaan ekonomi di masa depan, perkembangan teknologi dan luas atau terbatasnya kesempatan untuk melakukan investasi. Walaupun tingkat bunga adalah tinggi, para pengusaha akan melakukan banyak investasi. Sebaliknya, walaupun tingkat bunga rendah, investasi tidak akan banyak berubah apabila faktor-faktor lain tidak menggalakkan perkembangan investasi.
Variabel inflasi tidak signifikan terhadap investasi asing yang berarti berlawanan dengan hipotesis. Hal ini terjadi apabila kenaikan harga tersebut tidak secepatnya diikuti oleh kenaikan upah pekerja, maka keuntungan akan bertambah. Pertambahan keuntungan akan menggalakkan investasi di masa mendatang dan ini mewujudkan pertumbuhan ekonomi. Dan Variabel ekspor menunjukkan signifikansi dan berpengaruh positif terhadap investasi asing. Hal ini berarti bahwa hipotesis yang diajukan sebelumnya telah terbukti. Indikasi ini menandakan bahwa semakin tinggi nilai ekspor maka akan menaikkan nilai investasi asing.
Variabel nilai tukar menunjukkan signifikansi dan berpengaruh yang bersifat negatif (hubungan berkebalikan) terhadap investasi asing. Hal ini berarti hipotesis yang diajukan sebelumnya telah terbukti. Indikasi ini menandakan bahwa jika mata uang rupiah mengalami apresiasi terhadap dolar maka dampaknya nilai investasi asing akan turun. Dan Variabel independen secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen. Dari hasil estimasi dapat diketahui variabel-variabel yang berpengaruh terhadap investasi asing dengan urutan dari variabel sangat berpengaruh hingga variabel yang pengaruhnya sedikit adalah ekspor, nilai tukar, tingkat suku bunga deposito berjangka Rp bank pemerintah per 12 bulan dan lnflasi. Pengujian terhadap koefisien determinasi (R²) menghasilkan nilai sebesar 76,44%. Hal ini menunjukkan bahwa secara statistik variasi dari variabel independen mampu menjelaskan variasi dari variabel dependen sebesar 76,44%. . Pengujian pelanggaran asumsi klasik yang dilakukan ternyata dalam persamaan tersebut tidak terdapat multikolinieritas, autokorelasi dan heteroskedasitas sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini terbebas dari pelanggaran asumsi klasik.

2.6 Kerangka Pikir
Hubungan antara tingkat inflasi dan Penanaman Modal asing dapat terlihat ketika terjadinya krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia di tahun 1997, dimana krisis tersebut telah memberikan banyak dampak negatif bagi perekonomian dalam negeri, salah satunya dengan timbulnya inflasi yang sangat tinggi (hyperinflation) yang mencapai 600% pada saat itu. Inflasi tersebut disebabkan oleh banyaknya uang yang beredar di masyarakat yang kemudian memaksa Bank Indonesia untuk mengeluarkan berbagai kebijakan salah satunya dengan menaikkan tingkat suku bunga SBI. Kenaikan tingkat suku bunga ini diharapkan dapat memberikan daya tarik bagi masyarakat untuk menabung, sehingga jumlah uang yang beredar di masyarakat dapat ditekan.
Knaikan tingkat inflasi dapat memberikan tekanan yang kuat bagi investasi khususnya pada Penanaman Modal Asing Indonesia yang terlihat semakin tinggi tingkat inflasi maka makin tinggi tingkat Bunga dan akan mengurangi tingkat jumlah uang beredar yang pada akhirnya akan mengurangi Investasi Didalam Negeri Investor akan melarikan modalnya keluar negeri dibandingkan menginvestasi pada negara yang mempunyai inflasi tinggi. Dan Juga pada saat Investasi Asing atau Penanaman Modal Asing masuk keindonesia akan berdampak buruk apabila tanpa kendali yang cukup, dengan banyaknya Modal yang masuk jumlah uang beredar menjadi tinggi dan berakibat penurunan Nilai tukar Rupiah dan pada akhirnya akan meningkatkan Inflasi.
Melihat hal tersebut, maka digunakan alat analisis Uji Kausalitas Granger (Granger Causality Test) untuk melihat pola hubungan antara tingkat inflasi, dan Penanaman Modal Asing, serta Uji VAR (Vector Autoregression) untuk melihat dinamika kestabilan hubungan jangka panjang ketiga variabel tersebut. Olehnya itu, penulis menggambarkan secara lebih rinci kerangka pikir dalam penelitian ini yang dapat dilihat pada skema berikut :








Skema 2.1 Kerangka Pikir Penelitian

2.2 Hipotesis
Bedasarkan deskripsi latar belakang dan permasalahan penelitian, maka penulis mengajukan hipotesis yaitu diduga bahwa:
1. Pola arah hubungan antara inflasi, dan Penanaman Modal Asing di Indonesia masing-masing berpola dua arah.
2. Dalam jangka panjang, dinamika pergerakan tingkat inflasi merupakan hasil pengaruh dari inflasi itu sendiri di masa lalu serta perkembangan Penanaman Modal Asing di Indonesia.
3. Dalam jangka panjang, dinamika pergerakan tingkat Penanaman Modal Asing di Indonesia merupakan hasil pengaruh dari perkembangan Penanaman Modal Asing itu sendiri di masa lalu serta perkembangan inflasi Indonesia.





























BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Obyek Penelitian
Adapun yang menjadi obyek penelitian ini adalah pola dan dinamika hubungan antara inflasi, dan Penanaman Modal Asing di Indonesia. Variabel-variabel yang digunakan meliputi tingkat inflasi IHK gabungan 66 kota, Penanaman Modal Asing di Indonesia.
3.2 Jenis dan Sumber Data
3.2.1 Jenis data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari data tingkat inflasi IHK, dan Penanaman Modal Asing serta data-data lain yang relevan dengan penelitian ini.
3.2.2 Sumber Data
Sumber data diperoleh dari:
1. Kantor Bank Indonesia (BI) Cabang Kendari.
2. Kantor Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi Tenggara.
3. Media internet.
4. Berbagai literatur yang berkaitan dengan penelitian ini.
3.3 Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumentasi, yaitu mengambil data-data skunder yang disediakan oleh instansi terkait dan berbagai literatur yang berhubungan dengan penelitian ini serta berbagai penelitian terdahulu.
3.4 Metode Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan dengan metode:
a. Editing, yaitu memilih data yang telah dikumpulkan sesuai dengan kebutuhan penelitian.
b. Tabulasi, yaitu data yang telah diperoleh selanjutnya disusun secara sistematis dalam bentuk tabel untuk disajikan lebih lanjut.
c. Interpretasi, yaitu menjelaskan secara deskriptif data-data yang telah di tabulasi untuk memperoleh kesimpulan.

3.5 Metode Analisis Data
Untuk menganalisis adanya hubungan dua arah (causality) antara inflasi, suku bunga dan nilai tukar di Indonesia pada permasalahan pertama, digunakan Uji Kausalitas Granger (Granger Causality Test). Adapun model dimaksud adalah sebagai berikut :
.................................................... (3.1)
..................................................... (3.2)
Persamaan (3.1) menunjukkan Granger Causality antara tingkat inflasi dengan Penanaman Modal Asing. Persamaan (3.2) menunjukkan Granger Causality antara tingkat Penanaman Modal Asing dengan tingkat inflasi.
Tahap selanjutnya adalah melakukan 4 model regresi untuk masing-masing hubungan. Langkah pertama adalah menguji apakah tingkat inflasi mempengaruhi tingkat Penanaman Modal Asing , persamaannya sebagai berikut:
Persamaan Unrestricted ............... (3.3)
Persamaan Restricted ....................................... (3.4)
Langkah kedua menguji apakah tingkat Penanaman Modal Asing juga mempengaruhi tingkat inflasi, persamaannya sebagai berikut:
Persamaan Unrestricted ............ (3.5)
Persamaan Restricted ................................... (3.6)
Selanjutnya adalah melakukan uji F, nilai F hitung diperoleh dari formula sebagai berikut:
F = (n – k ) …............…....……. (3.7)

Dimana:
RSSR dan RSSUR = berturut-turut adalah nilai Residual sum of squares di dalam persamaan Unrestricted dan Restricted
n = jumlah observasi
m = jumlah lag
k = jumlah parameter yang diestimasi dalam persamaan
Unrestricted
Jika nilai F hitung lebih besar daripada nilai F tabel, maka variabel yang di uji berpengaruh terhadap variabel lainnya dan sebaliknya jika F hitung lebih besar daripada F tabel, maka variabel yang di uji tidak mempengaruhi variabel lainnya.
Adapun metode yang digunakan untuk menganalisis dinamika hubungan antara inflasi, suku bunga dan nilai tukar di Indonesia pada permasalahan kedua, ketiga dan keempat adalah model Vector Autoregression (VAR). VAR pada dasarnya adalah suatu teknik time series yang cukup fleksibel untuk memasukkan ciri-ciri dari model-model persamaan simultan konvensional, seperti restriksi-restriksi pada bentuk-bentuk yang dikuranginya untuk mengindentifikasi hubungan-hubungan struktural dalam model tersebut. Aplikasi VAR yang standar biasanya mencakup analisis tentang hasil-hasil : (1) Granger Causality Test (2) Impulse Response Function; dan (3) Forecast Error Variance Decompositions.
Terdapat dua alternatif model VAR yaitu : (1) model unrestricted VAR dan (2) model Vector Error Correction (VECM). Model alternatif pertama digunakan jika data time series seluruh variabel yang dianalisis stasioner pada tingkat level atau berintegrasi pada order 0, I[0]. Sebaiknya, jika tidak seluruh data time series stasioner pada nilai level, tetapi seluruhnya stasioner pada nilai first diffirent atau berintegrasi pada order 1, I[1], serta berkointegrasi pada order 1, CI[1,1], maka model yang digunakan adalah model alternatif kedua. Sebelum estimasi model VAR dilakukan, terlebih dahulu dilakukan beberapa pengujian yaitu uji stasionaritas data dan uji kointergrasi.
a. Uji Stasionaritas
Uji ini dimaksudkan untuk mendekteksi sifat stasioner pada setiap data time series dari variabel-variabel yang akan dianalisis. Suatu data dikatakan stasioner jika data tersebut memiliki rata-rata dan memiliki kecenderungan bergerak menuju rata-rata. Uji stasioner data bisa dilakukan dengan menggunakan uji akar unit ADF (Augmented Dickey- Fuller Test). Adapun formulasi uji ADF adalah :
......................................................................... (3.8)
................................................................... (3.9)
...................................................... (3.10)
Dimana :
Y = variabel yang diamati
= perubahan Y (Yt – Yt-1)
T = trend waktu
Prosedur untuk menentukan apakah data stasioner atau tidak dengan cara membandingkan antara nilai statistik ADF dengan nilai kritisnya distribusi statistik Mackinnon. Nilai statistik ADF ditunjukkan oleh nilai t statistik koefisien γY t-1 pada persamaan (3.20) sampai (3.22). jika nilai absolut statistik ADF lebih besar dari nilai kritisnya, maka data yang diamati menunjukkan stasioner dan jika sebaliknya nilai absolut statistik ADF lebih kecil dari nilai kritisnya maka data tidak stasioner. Hal krusial dalam uji ADF ini adalah menentukan panjangnya kelambanan. Panjangnya kelambanan bisa ditentukan berdasarkan kriteria AIC atau SIC.
Berdasarkan hasil uji diatas jika data tidak stasioner, untuk menghindari masalah regresi lancung, kita harus mentransformasikan data nonstasioner menjadi data stasioner melalui proses diferensiasi data. Uji stasioner data melalui proses diferensi ini disebut uji derajat integrasi. Adapun uji derajat integrasi tersebut adalah:
............................................................... (3.11)
......................................................... (3.12)
.............................................. (3.13)
Keputusan sampai pada derajat keberapa suatu data akan stasioner dapat dilihat dengan membandingkan antara nilai statistik ADF yang diperoleh dari koefisien dengan nilai kritis distribusi statistic Mackinnon. Jika nilai absolut dari statistic ADF lebih besar dari nilai kritisnya pada diferensi tingkat pertama, maka data dikatakan stasioner pada derajat satu. Akan tetapi, jika nilainya lebih kecil maka uji derajat integrasi perlu dilanjutkan pada diferensi yang lebih tinggi sehingga diperoleh data yang stasioner.
b. Uji Kointegrasi
Secara umum dapat dikatakan bahwa jika data time series Y dan X tidak stasioner pada tingkat level tetapi menjadi stasioner pada differensi (difference) yang sama yaitu Y adalah I(d) dan X adalah I(d) dimana di tingkat diferensi yang sama maka kedua data adalah terkointegrasi. Dengan kata lain uji kointegrasi hanya bisa dilakukan ketika data yang digunakan dalam penelitian berintegrasi pada derajat yang sama.
Untuk melakukan uji kointegrasi terlebih dahulu dilakukan estimasi regresi terhadap model yang diteliti. Dari hasil estimasi tersebut akan diperoleh nilai residualnya. Dari residual ini kemudian kita uji dengan DF maupun ADF. Adapun persamaan uji keduanya adalah :
.................................................................................................. (3.14)
+ .................................................................. (3.15)
Dari hasil estimasi nilai statistik DF dan ADF kemudian dibandingkan dengan nilai kritisnya. Nilai statistik DF dan ADF diperoleh dari koefisien . Jika nilai statistiknya lebih besar dari nilai kritisnya maka variabel-variabel yang diamati saling berkointegrasi atau memiliki hubungan jangka panjang dan sebaliknya jika nilai statistiknya lebih kecil dari nilai kritisnya maka variabel yang diamati tidak berkointegrasi. Jika nilai-nilai variabel yang diamati telah berkointegrasi maka analisis VAR unrestristic dapat dilakukan.
Berdasarkan uraian diatas maka model VAR yang dibangun dalam penelitian ini adalah :
....................................... (3.16)
...................................... (3.17)
Dimana :
INF1 = inflasi IHK
PMA2 = Penanaman Modal Asing

Sedangkan model VECM-nya (vector error corection model) adalah :
.................................. (3.18)
.................................. (3.19)
Dimana :
INF1 = inflasi IHK
PMA2 = Penanaman Modal Asing
= perubahan variabel

3.6 Definisi Operasional
Agar lebih jelas kemana arah dari penelitian ini, maka akan diuraikan batasan pada definisi operasional sebagai berikut:
1. Dinamika hubungan adalah hubungan yang terjadi antara variabel inflasi, dan Penanaman Modal Asing pada periode lag tertentu.
2. Inflasi adalah tingkat inflasi indeks harga konsumen (IHK) gabungan 66 kota di Indonesia yang diukur dengan satuan persen.
3. Penanaman Modal Asing adalah Investasi asing yang masuk di indonesia yang sudah disetujui pemerintah dengan satuan juta dollar .

Senin, 15 November 2010


Dampak Krisis Keuangan Global Bagi Indonesia*


Harga minyak dunia yang sempat menembus US$ 147 per barrel yang menyebabkan harga pangan melejit tinggi dan jatuhnya bank-bank raksasa di seluruh dunia menunjukkan terjadinya kebangkrutan kredit global yang pada gilirannya bisa mengarah kepada terjadinya resesi ekonomi. Agustus 2008 ini terulang kembali ledakan gelombang ekonomi di pasar perusmahan AS sebagai akibat dari subprime mortgage yang terjadi tahun lalu. Krisis ini terancam berakhir dengan depresi ekonomi yang mendunia. Depresi ini diperkirakan akan menghentikan pertumbuhan kesejahteraan dan lapangan kerja dalam perekonomian Barat selama kira-kira lebih dari satu dekade. Bangkrutnya Northern Rock di Inggris, Bear Sterns di Amerika serikat (AS), menyebabkan kian muramnya perekonomian dunia.
Bulan september 2008 adalah bulan dimana perusahaan-perusahaan terbesar di dunia ambruk. Tanggal 7 September, perusahaan prekreditan rumah Fannie Mae dan Freddie Mac , yang memberi garansi utang senilai 5,3 trilyun dolar, yang meliputi separuh lebih dari utang perkreditan rumah di AS, pun ambruk. Pemerintah AS akhirnya terpaksa menyelematkan dua perusahaan tersebut dengan menggelontorkan uang dari kas pajak warga negaranya sebesar 200 bilyun dolar. Dua perusahaan tersebut ambruk karena berani memberikan utang kepada orang-orang yang beresiko tinggi dalam masa-masa kejayaan ekonomi. Disusul kemudian beria yang menggemparkan dunia finansial adalah bangkrutnya salah satu Bank Investasi terbesar di pusat keuangan Wall Street di New York AS. Lehman Brothers, salah satu perusahaan investasi bank AS terbesar memasukkan permohonan status bangkrut pada tanggal 15 September 2008. Inilah akhir nasib suatu bank besar dan tertua yang berdiri di negara bagian Alabama tahun 1844 dan jatuh begitu saja– padahal di tahun 2007 Lehman masih melaporkan jumlah penjualan sebesar 57 bilyun dolar dan di bulan Maret lalu masih sempat dinyatakan oleh majalah Business Week sebagai salah satu dari 50 perusahaan papan atas di tahun 2008. Namun kini, Lehman bernilai tidak lebih dari cuma 2 bilyun dolar saja.
Perusahaan investasi lain seperti Merril Lynch, yang bertahun-tahun sempat menjadi raksasa Wall Street, pun mengemis untuk segera diambil alih oleh saingannya sendiri, yaitu Bank of America. Dan AIG, salah satu perusahaan asuransi terbesar juga memohon untuk disuntikkan dana darurat sebesar 40 bilyun dolar dari pemerintah AS untuk menghindari kebangkrutan total. Rentetan peristiwa ini dirangkum oleh majalah Wall Street Journal dengan kata-kata,” Sistem keuangan Amerika serikat terguncang hingga ke pusarnya”. Alan Greenspan, mantan kepala Bank Sentral AS, menyebut krisis keuangan dunia saat ini sebagai kejadian yang terjadi sekali dalam 100 tahun. Bangkrutnya lehman brothers tercatat sebagai kebangkrutan terbesar dalam sejarah korporasi AS. Perusahaan asuransi terbesar, AIG, juga di ambang ambruk.
Anatomi Krisis Keuangan Global
Krisis yang terjadi di Amerika serikat Serikat berakar pada besarnya gelembung kredit yang dikucurkan ke perumahan. Harga rumah di Amerika serikat, rata-rata turun hampir 5 persen. Banyak analis yang memprediksi bahwa harga akan turun lagi sebesar 10 persen, di mana hal tersebut akan menyebabkan penurunan harga rumah secara kumulatif dalam depresi ini. Bahkan di negara lain dampaknya bisa lebih buruk.
IMF memperhitungkan bahwa kerugian di seluruh dunia pada hutang yang berasal dari Amerika serikat (terutama yang berhubungan dengan mortgages) akan mencapai 1,4 triliun US dolar, perhitungan ini meningkat dari perkiraan awal yang mencapai 945 miliar US dolar pada bulan April 2008. Sejauh ini 760 miliar dolar telah dicatat oleh bank, perusahaan asuransi, hedge fund dan lainnya yang memiliki hutang tersebut.
Secara global, bank sendiri telah dilaporkan mencapai kerugian sebesar 600 miliar US dolar dalam bentuk kredit dan telah mengeluarkan 430 miliar US dolar dalam bentuk modal baru. Bank-bank di Amerika serikat dan di Eropa akan mencucurkan dananya sebesar 10 triliun US dolar dalam bentuk aset, yang ekuivalen dengan 14,5 persen dari stok kredit bank di tahun 2009.
Di Amerika serikat secara keseluruhan pertumbuhan kredit akan melambat di bawah 1 persen, turun dari rata-rata pertahun setelah masa perang yang mencapai 9 persen. Hal itu sendiri dapat menurunkan pertumbuhan perekonomian negara-negara barat sebesar 1,5 persen. Tanpa tindakan maju dari pemerintah yang akan mencucurkan dana sebesar 700 miliar US dolar, perhitungan IMF menunjukan bahwa kredit akan turun sebesar 7,3 persen di Amerika serikat, 6,3 persen di Inggris, dan 4,5 persen di seluruh eropa.
Sejumlah negara-negara kaya saat ini mengalami resesi, sebagian karena kredit yang ketat dan sebagian lagi karena melonjaknya harga minyak pada awal tahun ini. Pendapatan nasional di Inggris, Perancis, Jerman, dan Jepang turun. Dengan melihat cepatnya para pekerja yang kehilangan pekerjaannya dan lemahnya daya beli konsumen, perekonomian Amerika serikat juga mengalami kemunduran.
Sejarah mengajarkan pelajaran penting, bahwa krisis perbankan yang besar akhirnya diselesaikan dengan menggunakan sejumlah besar uang publik, dan kemudian tindakan pemerintah yang tegas, baik itu untuk merekapitalisasi bank atau mengambil alih kredit yang bermasalah, dapat meminimalkan biaya kepada pembayar pajak dan dampak krisis tersebut ke perekonomian. Contohnya, Swedia dengan cepat mengambil alih bank yang bermasalah setelah terjadinya kegagalan properti di awal tahun 1990-an dan pulih dengan cepat. Secara kontras, Jepang harus menempuh satu dekade untuk pulih dari krisis keuangan dengan biaya pembayar pajaknya yang ekuivalen dengan 24 persen GDP nya.
Pemerintah Amerika Serikat telah telah meletakkan 7 persen GDP nya pada garis batas, sejumlah uang yang sangat banyak sebesar 16 persen GDP dimana rata-rata krisis perbankan yang sistemik diselesaikan dengan biaya dari bantuan dana publik. Saat ini bagaimana Amerika serikat mengusulkan bekerjanya Troubled Asset Relief Programme (TARP) masih belum jelas. Departemen Keuangan Amerika Serikat berencana membeli sejumlah besar utang yang bermasalah dengan menggunakan mekanisme lelang, di mana bank menawarkan untuk menjual pada suatu harga tertentu dan pemerintah membeli dari harga terendah sampai tertingi. Kompleksitas dari ribuan hipotek yang dijamin dengan aset akan membuat hal ini menjadi sulit. Bila rekapitalisasi bank secara langsung masih dibutuhkan, Departemen Keuangan dapat melakukan hal itu juga. Hal yang utama adalah Amerika serikat harus bersiap-siap melakukan tindakan tegas.
Untuk sementara waktu, hal tersebut menawarkan alasan optimisme. Begitu juga dengan kekuatan dari emerging market terbesar, terutama China. Perekonomian negara ini tidak terpengaruh sebagaimana negara-negara lain terlihat berjatuhan. Pasar saham mereka terjun dan banyak mata uang telah turun tajam. Permintaan domestik di negara-negara emerging market melambat tetapi tidak kolaps. IMF berharap perekonomian negara-negara emerging market, yang dipimpin oleh China, untuk tetap tumbuh sebesar 6,9 persen pada 2008 dan 6,1 persen pada 2009. Hal itu akan menjadi bantal perekonomian dunia meski tidak akan menyelamatkannya dari resesi.
Gambar 1. Indeks Komoditas Tahun 2000-2008*
Sumber: The Economist
Perangsang lain datang dari terjunnya harga komoditas akhir-akhir ini, terutama minyak. Selama tahun pertama krisis keuangan, boom yang terjadi dalam harga komoditas yang telah terjadi selama lima tahun menjadi hal sangat mengejutkan. Dari awal tahun sampai juli, harga minyak naik hampir dua kali lipat. Indeks harga makanan melonjak sebesar 55 persen (lihat Gambar 1). Kenaikan harga yang sangat besar ini mendorong kenaikan indeks harga konsumen di dunia. Rata-rata headline inflation pada bulan Juli telah melebihi 4 persen di negara-negara kaya dan hampir mencapai 9 persen di emerging economies, jauh melebihi target bank sentral (lihat Gambar 2).
Gambar 2. Sinyal-Sinyal Yang Berbahaya: Inflasi di Negara Industri, Emerging Economies, dan Global Tahun 2002-2008*

Sumber: The Economist
Inflasi yang tinggi dan terus menerus melonjak bersamaan dengan lemahnya keuangan menyebabkan bank sentral mengalami kebingungan dan menghadapi trade off yang berbahaya. Mereka dapat mengetatkan kebijakan moneter untuk menghindari dari inflasi yang lebih tinggi dan menjadi berurat akar (sebagaimana yang dilakukan ECB), atau mereka dapat memotong suku bunga untuk membantali lemahnya sisi finansial (sebagaimana yang dilakukan The Fed). Dilema tersebut sekarang berakhir. Hal tersebut terjadi karena turunnya harga komoditas secara tajam, indeks harga konsumen yang sempat mencapai puncaknya yang akan menimbulkan resiko inflasi telah mereda. Bila harga minyak tetap pada level saat ini, indeks harga konsumen Amerika serikat mungkin saja turun dibawah 1 persen pada pertengahan tahun ini. Kemudian pembuat kebijakan akan mulai segera mengkhawatirkan adanya deflasi.
Masalahnya terletak pada besarnya difisit neraca berjalan Amerika serikat yang bergantung pada pembiayaan luar negeri. Amerika Serikat memiliki keuntungan bahwa mata uangnya yakni dolar adalah mata uang cadangan devisa tiap negara, dan sebagaimana kekacauan pasar finansial telah meluas, dolar akan menguat. Tetapi krisis kali ini juga menguji banyak fondasi dimana orang asing loyal terhadap dasar dolar, seperti jangkauan pemerintah yang terbatas dan pasar modal yang stabil. Bila orang asing melarikan dolar, maka amerika serikat akan mengalami dua mimpi buruk yang menghantui negara-negara emerging market dalam kehancuran pasar keuangan: secara simultan terjadi krisis mata uang dan perbankan. Utang amerika serikat, tidak seperti utang-utang negara emerging market, utang Amerika Serikat didenominasikan dalam bentuk mata uangnya sendiri, yaitu dolar. Tetapi kolapsnya dolar akan tetap menjadi sebuah bencana.
Apa yang akan menjadi efek jangka panjang dari kekacauan pasar finansial ini terhadap ekonomi dunia? Memprediksi konsekuensi dari krisis yang belum selesai adalah suatu yang bahaya. Tetapi sudah jelas bahwa, bahkan dalam ketiadaan bencana, arah globalisasi akan berubah. Dua dekade yang lalu pertumbuhan integrasi perekonomian dunia telah bersama-sama dengan semakin berkembangnya pengetahuan dari anglo-saxon kapitalisme pasar bebas, dengan amerika serikat sebagai cheerleadernya. Pembebasan aliran perdagangan dan modal juga deregulasi industri domestik dan keuangan telah menyebabkan pesatnya perkembangan globalisasi. Integrasi global, dalam jumlah besar, telah menyebabkan kemenangan pasar atas pemerintah. Proses ini sekarang berbalik menjadi 3 jalan yang berbeda.
Pertama, keuangan negara-negara barat akan diregulasi. Pada tingkat minimalnya, wilayah yang paling bebas di keuangan modern, seperti 55 triliun US dolar untuk derivasi kredit akan diatur. Peraturan akan modal akan diperiksa secara seksama untuk menurunkan solvabilitas dan meningkatkan daya rentang sistem. Overlaping dari pembuat peraturan akan diatur kembali. Seberapa besar kontrol yang akan dikenakan akan kurang bergantung kepada ideologi daripada parahnya penurunan ekonomi.
Yang kedua, keseimbangan antara negara dan pasar berubah dalam wilayah selain keuangan. Untuk kebanyakan negara, shock yang sangat penting dalam beberapa tahun yang lalu adalah naiknya harga komoditi secara besar-besaran, dimana politisi juga disalahkan karena adanya spekulasi keuangan. Naiknya harga makanan di akhir 2007 dan awal 2008 telah menyebabkan adanya pemberontakan di 30 negara. Untuk meresponsnya, pemerintah di negara-negara emerging market memperluas jangkauannya, menaikan subsidi, memperbaiki harga, melarang expor dari komoditas penting, bahkan pada kasus india, pemerintahnya melarang perdagangan future.
Ketiga, Amerika serikat kehilangan pengaruh ekonomi dan wewenang intelektual. Sebagaimana negara-negera yang perekonomiannya sedang tumbuh pesat membentuk arah dari perdagangan global, sehingga mereka akan meningkatkan bentuk keuangan masa depan. Seperti China yang merupakan negara kaya kapital dan mudah dalam memberi kredit. Deleveraging dalam perekonomian barat akan sedikit tidak terlalu terasa bila savings di negara-negara asia yang kaya dan negara pengekspor minyak menyuntikan dananya.
Rentetan efek domino pun masih berlanjut dengan hancurnya Washington Mutual (WaMu). WaMu ditutup setelah nasabah menarik dana besar-besaran sejak 15 September lalu atau sejak Lehman Brothers mengalami kebangkrutan. Penarikan dana mencapai 16,7 miliar dollar AS. Bahkan, di eropa pun krisis keuangan AS mengimbas ke Amsterdam (Belanda) dan Brussels (Belgia), di mana Fortis NV, jasa keuangan Belanda-Belgia, harus menepis rumor. Bank Sentral Belanda telah memerintahkan bank pesaing Fortis untuk mendukung pendanaan bank tersebut. Fortis, yang juga terjebak pinjaman pada perumahan AS, mengalami penurunan harga saham 21 persen, terendah dalam 14 tahun terakhir.
Jatuhnya WaMu seakan menjadi pembenaran bahwa krisis finansial ini semakin memburuk. Akibatnya, pasar saham di Asia, Eropa, dan AS, anjlok lagi. Belum jelasnya nasib rancangan penyelamatan yang diajukan oleh pemerintahan Bush juga menambah suram pasar finansial di seluruh penjuru dunia. Krisis kepercayaan telah merepotkan lembaga keuangan. Untuk mengatasi kekeringan likuiditas di perbankan, bank-bank sentral di beberapa negara menambah pasokan likuiditas ke sektor perbankan.
Gambar 3. Kerugian Sektor Finansial

Sumber: Bloomberg dan IMF (2008)
Langkah FED
Upaya penyelamatan sebesar USD700 miliar semestinya menenangkan pasar. Ternyata jumlah tersebut menimbulkan keraguan baru, yaitu dari sisi kesehatan keuangan Pemerintah AS. Jumlah utang pemerintah telah melampaui USD10 triliun dan setiap harinya bertambah USD2,6 miliar. Ini berarti bahwa rasio utang Pemerintah AS terhadap produk domestik bruto (PDB) mereka yang mencapai USD14 triliun adalah di atas 70 persen.
Dengan upaya penyelamatan tersebut, batas atas utang pemerintah akan ditetapkan sebesar USD11,3 triliun. Jika batas itu tercapai, maka rasio utang pemerintah terhadap PDB akan mencapai sekitar 80 persen dan akan terus meningkat. Pada masa pemerintahan yang akan datang, siapa pun presidennya, bukan tidak mungkin rasio utang meningkat menjadi 100 persen.
Gagalnya penyuntikan dana oleh FED pada konggres pertama disebabkan karena maraknya Credit Default Swaps (CDS). CDS adalah surat berharga yang memberikan jaminan bayar kepada seorang pemegang obligasi. Nilai pasar CDS berkembang dua kali lipat dalam tiga tahun terakhir. Saat muncul pada tahun 1995 nilai CDS baru US$ 144 miliar namun sekarang telah mencapai US$ 62,2 triliun. Setelah dihapuskannya peraturan mengenai CDS pada tahun 2000, potensi kebangkrutan korporasi AS makin besar muncul diawal tahun 2005. Saat itu kredit macet di sektor perumahan AS mulai bermunculan. Sejak keadaan ini dicium pasar, produk-produk CDS makin marak diperdagangkan. Investor yang bisa membeli CDS tidak lagi terbatas pada investor yang membeli obligasi asli.
Transaksi jual-beli CDS juga dilakukan di bawah meja. CDS menjadi produk idaman spekulan. Misi CDS berubah dari pengamanan obligasi gagal bayar menjadi sebuah instrumen peraup untung di tengah gelombang kebangkrutan korporasi. Siapa pun pemegang CDS pasti untung asalkan terjadi kebangkrutan korporasi penerbit surat utang.
Para pemegang CDS terus menciptakan suasana yang menjatuhkan indeks, yang mempercepat rentetan kebangkrutan perbankan. Menurut Dorsch, inilah yang menjadi alasan utama di balik kejatuhan beruntun indeks saham AS dan global karena peredaran CDS telah meluas ke berbagai negara
Dengan membandingkan masalah yang dihadapi perekonomian Jepang beberapa tahun lalu, bukan tidak mungkin masalah perekonomian di AS akan berkepanjangan. Saat sebelum terjadinya krisis, rasio utang Pemerintah Jepang terhadap PDB mereka mencapai 50 persen. Dalam hitungan 10 tahun, rasio tersebut telah meningkat dua kali lipat menjadi 100 persen di akhir 1999. Rasio terus meningkat sampai saat ini yang menimbulkan beban besar bagi Pemerintah Jepang.
Imbas dari krisis lembaga keuangan AS pertama-tama amat terasa di pasar modal sebagaimana ditunjukkan oleh kemerosotan tajam IHSG. Kemerosotan IHSG ini diikuti pelemahan nilai rupiah yang sudah menembus angka Rp 10.650 seiring penguatan dollar AS karena investor mencari perlindungan, terutama di T bills (surat berharga) Pemerintah AS. Pasar obligasi, baik pemerintah maupun korporasi, juga tertekan menimbulkan kerugian besar pada perbankan dan institusi pemegang obligasi lainnya karena penghitungan yang disesuaikan nilai pasar saat itu (mark-to-market). Selanjutnya perbankan dihadapkan persoalan ketatnya likuiditas, baik dollar AS maupun rupiah, yang mendorong peningkatan suku bunga deposito yang tinggi. Bahkan, beberapa bank memberi bunga deposito hingga 12-13 persen untuk jumlah tertentu. Untuk mengimbangi pertumbuhan kredit yang amat tinggi, di atas 30 persen, bank amat membutuhkan dana dari masyarakat yang pertumbuhannya tidak sepadan dengan pertumbuhan kredit itu.
Dalam menanggapi imbas dari krisis ini, BI melakukan intervensi cukup besar untuk menjaga stabilitas nilai rupiah. Pemerintah juga berusaha meyakinkan pasar keuangan dan pelaku ekonomi umumnya bahwa perekonomian Indonesia tidak terkait langsung dengan krisis di AS meski terkena imbasnya.
Kebijakan BI
Tingginya inflasi ini masih akan berlangsung hingga paruh ke dua tahun 2009. BI menyikapi tingginya inflasi dengan menaikkan suku bunga secara bertahap sebesar 25 basis point per bulan yang kini pada tingkatan 9,5 persen. Dengan perkiraan inflasi pada tahun 2009 sekitar 6,5-7,5 persen tingkat BI Rate ini dianggap memadai.
Upaya untuk mengatasi ketatnya likuiditas di satu sisi dan tingginya inflasi di sisi lain tampaknya saling bertentangan. Untuk melawan inflasi dibutuhkan kebijakan uang ketat, sedangkan untuk mengatasi persoalan ketatnya likuiditas di perbankan dibutuhkan aliran dana ke dalam perekonomian. Tampaknya BI dan pemerintah berupaya melakukan kebijakan bersifat hibrid, yaitu mengurangi tekanan likuiditas dengan berupaya mengendalikan inflasi, paling tidak dalam enam bulan ke depan saat inflasi masih tinggi. Hasilnya tentu tidak optimal, tetapi dalam situasi penuh ketidakpastian, amat sulit menerapkan kebijakan optimal.
Saat ini, perbankan Indonesia sedang dalam proses ekapansi dalam menyalurkan kredit. Kecenderungan ini akan terus berlangsung karena LDR (rasio kredit terhadap deposito) meski mengalami peningkatan besar, tetapi masih ada di bawah 80 persen.
Bandingkan dengan LDR Thailand yang mendekati 100 persen dan Korea Selatan yang telah melampaui 100 persen. Memang aliran kredit perbankan terbatas kredit investasi karena tingginya risiko dan lebih besar pada kredit konsumsi dan modal kerja.
Bagi bank-bank papan atas, mereka tampaknya enggan memanfaatkan fasilitas repo BI, terutama terkait reputasi. Mereka tidak mau mendapatkan kesan kesulitan dana dengan memanfaatkan fasilitas BI. Bank-bank itu cenderung mendapatkan dana dari masyarakat atau pasar uang antarbank meski bunganya tinggi selama mereka dapat menyalurkan kredit dengan marjin tertentu. Kemungkinan pertumbuhan kredit akan melambat sesuai pertumbuhan dana pihak ketiga. Namun, kecenderungan pertumbuhan kredit masih akan tetap tinggi karena perbankan dalam kondisi ekspansif.
Dari sisi kebijakan moneter dan supervisi perbankan selain membuka akses lebih besar pada likuiditas, kepercayaan antarlembaga keuangan khususnya antarbank harus tetap dijaga baik guna mencegah persoalan credit crunch, seperti di AS dan Eropa. Dengan rasio permodalan yang cukup baik dan tidak terkait masalah produk keuangan dari lembaga keuangan yang gagal di AS, seharusnya perbankan di Indonesia masih dapat berfungsi optimal meski menghadapi tekanan permasalahan likuiditas.
Dampak Kepada Sektor Finansial
Krisis Keuangan ini juga berdampak pada aktivitas pasar modal global. Perkembangan indeks bursa saham di beberapa bursa dunia yang sebelumnya menunjukkan kinerja yang outperform terkoreksi turun sampai dengan level yang tidak diperkirakan. Jika dibandingkan dengan awal tahun 2008, Indeks bursa Shanghai telah turun sebesar 64 persen, Kuala Lumpur Composite Index sebesar 34 persen.
Begitu juga dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia per tanggal 16 September 2008 menyentuh level terendah 1.719,254, terkoreksi 39,3 persen dihitung dari level IHSG tertinggi 9 Januari 2008 di level 2.830,260. Kerugian langsung mungkin hanya dialami sebagian kecil investor yang memiliki eksposure atas aset-aset yang terkait langsung dengan lembaga-lembaga keuangan AS yang bermasalah.
Dengan kondisi fundamental Indonesia saat ini, sebenarnya tidak ada alasan bagi investor untuk melakukan rasionalisasi portofolionya. Melemahnya IHSG akibat sentimen global krisis keuangan AS sebenarnya memberikan hikmah positif karena tanpa kita sadari kinerja IHSG selama ini relatif overvalued. Turunnya IHSG ke level saat ini lebih mewakili kondisi fundamental yang sebenarnya (priced-in). Meski level IHSG saat ini belum dipastikan merupakan level equilibrium baru, tetapi dengan kondisi fundamental yang perform akan menahan aksi spekulasi yang mendorong IHSG terkoreksi lebih dalam.
Dengan tingkat likuiditas global saat ini yang relatif masih sangat tinggi, diperkirakan tujuan investasi investor akan ditujukan ke berbagai bursa-bursa emerging market yang dapat memberikan potensi tingkat pengembalian/imbal hasil (expected return) yang menarik bagi investor, tak terkecuali Indonesia. Inilah sebenarnya berkah terselubung krisis keuangan AS untuk pasar modal Indonesia.
Tidak bisa kita mungkiri bahwa investor pasar modal Indonesia saat ini masih didominasi investor asing. Berdasarkan data dari Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) per tanggal 31 Juli 2008 kepemilikan saham investor Asing di Bursa Efek Indonesia sebesar 64 persen, sisanya 36 persen adalah kepemilikan saham oleh investor lokal. Peran investor asing ini di satu sisi membawa dampak positif meningkatkan likuiditas berupa aliran modal masuk (capital inflow), tetapi di sisi yang lain merupakan ancaman instabilitas pasar ketika investor asing ini keluar dan menarik modalnya (capital outflow) secara masif dan tiba-tiba. Sampai saat ini di pasar modal Indonesia belum mengindikasikan adanya capital outflow secara besar-besaran sebagai dampak dari krisis keuangan AS.
Namun demikian, kita harus mewaspadai kemungkinan terjadinya penarikan modal investor asing secara besar-besaran. Ketidakpastian perekonomian global sebagai dampak dari krisis keuangan AS masih dominan dan memberikan peluang terjadinya capital outflow secara besar-besaran di pasar modal Indonesia.
Perekonomian Indonesia
Kini, perekonomian Indonesia dalam kondisi rentan untuk tumbuh lebih tinggi. Ekspansi perekonomian tidak sepadan dengan dukungan yang memadai dari akumulasi dana masyarakat. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi belum optimal, tetapi inflasi sudah tinggi karena tekanan harga, apalagi dengan keadaan eksternal yang cepat memburuk. Dalam jangka pendek, prioritas ada pada pengendalian inflasi dan stabilitas nilai rupiah yang amat penting karena hal ini dapat menurunkan kepercayaan dengan cepat jika tidak ditangani dengan baik. Saat kondisi eksternal tidak pasti, fokus kebijakan di tingkat pemerintahan dan perusahaan adalah pada stabilitas dan kepercayaan di dalam negeri. Prediksi Bank Indonesia mengenai pertumbuhan ekonomi jangka menengah tampaknya akan terhambat akibat krisis finansial global yang terjadi (lihat Gambar 4).
Gambar 4. Proyeksi Pertumbuhan Jangka Menengah Indonesia
Negara negara di dunia saat ini dihadapkan pada pilihan kebijakan ekonomi yang dilematis. Di satu sisi tekanan inflasi meningkat namun disisi lain perekonomian dunia sedang melambat. Di AS sendiri The FED dalam menghadapi resesi dan tekanan global adalah dengan menurunkan tingkat suku bunga sampa 1,5%. Hingga pertengahan juli 2008 banyak negara berupaya untuk menahan kenaikkan inflasi dengan menaikkan suku bunga.
Pola Aliran Foreign Direct Investment (FDI) global mengalami pergeseran dimana peran negara berkembang sebagai penerima aliran masuk FDI semakin meningkat. Pada periode 2001-2007, total aliran FDI ke negara berkembang rata-rata telah mencaai 31.5% sementara di negara maju turun ke tingkat 65% (lihat Gambar 5).
Gambar 5. Perkembangan FDI global (USD Milliar)

Sumber: UNCTAD, the economist (2008)
Meskipun secara umum kinerja perekonomian telah membaik, namun sesungguhnya perekonomian domestik masih dibayangi oeleh sejumlah masalah struktural yang berpotensi menghambat akselerasi pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Perbaikan struktural memang telah dilakukan, namun dalam skala dan kecepatan yang belum memadai untuk mengejar ketinggalan yang ada. Sebagai akibatnya tingkat pertumbuhan capital belum signifikan dan produktivitas tenaga kerja cenderung menurun. Kondisi buruknya struktural ekonomi di Indonesia menjadi salah satu penyebab kurang menariknya Indonesia di mata asing sehingga FDI yang masuk masih sedikit. Meskipun sejak tahun 2002 FDI Indonesia terus meningkat, namun apabila dibandingkan dengan Negara-negara di ASEAN posisi Indonesia relative tertinggal (lihat Gambar 6).
Gambar 6. Perkembangan Rasio FDI di Negara Asean (%)

Sumber: Asian Development Bank (2008)
Perkembangan Indikator Ekonomi Nasional
Dari sisi permintaan pertumbuhan ekonomi pasca krisis lebih di dorong permintaan domestik. Hal ini terlihat dari rata-rata pertumbuhan pasca krisis 2001-2007 yang mencapai 5%, melebihi rata-rata pertumbuhan ekspor netto yang mencapai 4%. Disisi lain, Gap antara permintaan domestik dan ekspor netto pasca krisis jauh lebih kecil dibandingkan dengan sebelum krisis (lihat Gambar 7).
Gambar 7. Pertumbuhan Komponen PDB sebelum dan sesudah Krisis (%)

Sumber: Laporan Bank Indonesia (2008)
Bagaimana dengan Ekspor Indonesia? Dari Indeks Revealed Comparative Advantage (RCA) menunjukkan bahwa prestasi ekspor lebih di dominasi oleh peningkatan komoditas berbasis Alam (lihat Gambar 8). Berdasarkan indeks RCA, karet dan batubara merupakan komoditas yang daya saingnya mengalami peningkatan. Sementara tekstil, elektronik, dan produk kayu mengalami penurunan daya saing. Kurang kuatnya kinerja komoditas berbasis manufaktur ini tidak terlepas dari lemahnya dukungan kegiatan investasi setelah krisis.
Gambar 8. RCA Indeks Beberapa Komoditi Andalan Ekspor (%)

Sumber: Laporan Bank Indonesia (2008)
Dari sisi produksi, kontribusi sektor sektor yang memiliki pangsa besar terhadap pertumbuhan PDB indonesia cenderung terus mengalami penurunan. Pertumbuhan kedua sektor terbesar yaitu pertanian dan industri pengolahan dalam periode 2001-2007 mengalami penurunan. Dengan pangsa yang semakin mengecil serta pertumbuhan yang cenderung stagnan, kontribusi sektor pertanian dan industri pengolahan pada pertumbuhan PDB semakin menurun. Lemahnya kinerja sektor industri pengolahan, khususnya industri pengolahan nonmigas, tidak dapat dilepaskan dari kondisi permintaan domestik yang terus mengalami tekanan. Dengan karakteristik sektor industri dimana orientasi dari industri-industri yang berskala besar lebih tertuju ke pasar domestik, maka lemahnya permintaan masyarakat jelas akan mempengaruhi kinerja sektor industri secara keseluruhan. Kinerja industri pengolahan nonmigas (manufaktur) pascakrisis yang belum sepenuhnya membaik ini juga tercermin dari nilai produksi maupun nilai tambah produksi yang dihasilkan oleh keseluruhan industri, baik industri besar dan sedang, yang secara umum terlihat masih dibawah kondisi prakrisis.
Sebaliknya perkembangan sektor tersier khususnya perdagangan, pengangkutan dan jasa keuangan maupun non keuangan semakin membaik, seperti tercermin dalam kontribusinya terhadap PDB terus meningkat (lihat Gambar 9).
Gambar 9. Pertumbuhan PDB dan Pangsa Sektoral

Sumber: Bank Indonesia (2008)
Dampak Krisis kepada Industri di Indonesia
Semenjak SBY memimpin Indonesia baik Kurs Rupiah maupun IHSG terlihat Stabil (lihat Gambar 10). Namun terjadinya krisis financial global membuat pemerintah dan beberapa departemen di Indonesia mengeluarkan beberapa langkah antisipasi. Kepanikan investor yang membuat jatuhnya indeks saham sampai level 1400 membuat BEI dan pemerintah melakukan suspensi atas aktivitas perdagangan di bursa.
Gambar 10. Kurs dan IHSG selama 2004-2008

Sumber: Diolah dari BI (2008)
Namun tampaknya intervensi yang telah dilakukan pemerintah pun belum berhasil untuk menahan nilai kurs rupiah, bahkan pada 10 oktober 2008 kemarin dolar sempat menembus Rp. 10.650,-. Kebijakan BI untuk menaikkan suku bunga menjadi 9,5% ternyata belum mampu menahan gejolak dan tekanan krisis. Terjadinya krisis ini mau tidak mau sangat berpengaruh terhadap usaha bisnis yang ada di Indonesia yang berhubungan dengan kegiatan investasi seperti pembiayaan, asuransi, bank, properti dan industri yang terkait dengan ekspor.
Untuk bisnis pembiayaan sendiri, keringnya likuiditas di pasar akan sangat menghambat industri multifinance untuk mengembangkan pembiayaannya sehingga pertumbuhan sampai akhir tahun ini diprediksi 10-20%. industri pembiayaan yang mencakup consumer finance, leasing, dan anjak piutang mayoritas mengandalkan sumber dana dari pinjaman bank dan sebagian kecil dari pinjaman langsung lainnya dalam negeri dan asing. Sulitnya mendapatkan funding dari bank dengan sendirinya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan kredit baru yang memiliki beban suku bunga pembiayaan lebih tinggi menyesuaikan dengan naiknya biaya dana. Tingginya suku bunga yang ditetapkan BI dikhawatirkan akan menurunkan kualitas pembiayaan, yakni potensi naiknya pembiayaan macet menjadi lebih besar meski kucuran pembiayaan dilakukan dengan sangat hati-hati. Kerena itu para pelaku bisnis di pembiayaan ini harus mencari sumber dana lain. Jika melalui bank local sulit mendapatkan dana, maka segera ekspansi untuk menggaet mitra bank asing yang memiliki likuiditas yang tinggi. Pemerintah harusnya juga menciptakan iklim yang kondusif untuk bisnis pembiayaan ini, misalnya dengan membuka kesempatan kepada multifinance mendapat dana dari industri asuransi atau dana pensiun sehingga tak hanya mengandalkan dana dari bank ataupun obligasi. Di samping itu, perlu juga dibuat aturan mengenai kepemilikan asing dalam lembaga pembiayaan.
Sama halnya dengan industri asuransi, jatuhnya saham domestik ini berpotensi negetif terhadap pemegang polis asuransi unit link. Walaupun untungnya, unit link menempatkan dananya di saham masih sedikit apabila dibandingkan dengan fix income, namun saat ini perusahaan asuransi harus mulai untuk melihat potensi atau peluang investasi di sektor riil. Memang investasi di sektor ini membuat asset kurang liquid, akan tetapi dalam jangka panjang, investasi sektor riil yang dikelola secara hati hati akan menjadi salah satu alternatif pendapatan yang menjanjikan untuk industri asuransi.
Begitu juga dengan industri yang mengekspor barang hasil produksinya. Amerika serikat Serikat adalah negara tujuan ekspor terbesar Indonesia setelah Jepang yang menyerap 12, 5 persen dari total nilai ekspor. Pada Januari-Agustus 2008, AS menyerap 8,5 milliar dollar AS atau 11, 58 persen dari total nilai ekspor nonmigas indonesia yang mencapai 73,54 milliar dolar AS. Penyerapan pasar AS bukan saja penting karena besarnya pangsa pasar negara tersebut. Komposisi produk ekspor indonesia ke AS juga bernilai penting karena ditopang oleh industri manufaktur dan pertanian yang menjadi gantungan hajat hidup rakyat banyak.
Selama ini sekitar 43 persen dari total ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) indonesia diserap AS. Hampir 60% dari total ekspor alas kaki indonesia juga dipesan pemegang merek dari AS. Mereka juga menyerap 37 persen ekspor produk perikanan di Indonesia. Padahal TPT dan alas kaki adalah gambaran dari subsektor yang paling diandalkan untuk menyerap tenaga kerja. Sementara di sektor pertanian, kinerja ekspor lebih banyak ditopang produk ikan dan udang daripada hasil budidaya tanaman pangan.
Menanggapi Berbagai gejolak eksternal tersebut jelas merupakan tantangan bagi Indonesia. Miranda S.Goeltom, saat dikukuhkan sebagai Guru Besar FEUI, mengatakan bahwa indahnya koordinasi kebijakan moneter dan fiskal akan sangat tampak ketika ekonomi Indonesia menghadapi ketidakpastian dan gejolak eksternal, seperti lonjakan harga minyak ataupun nilai tukar. Ia menawarkan model koordinasi “Leader-follower”. Artinya koordinasi harus mengacu kepada urutan (sequence) tindakan kebijakan, di mana salah satu otoritas harus melahirkan kebijakan terlebih dulu berdasarkan tantangan lingkungan eksternal, baru direspon oleh otoritas kebijakan lainnya. Ketika terjadi lonjakan harga minyak, otoritas fiskal perlu mengubah kebijakan pengeluaran pemerintah dengan segera, sedang otoritas moneter perlu menjadi follower dengan melakukan kebijakan moneter yang seharusnya tidak mengganggu stabilitas makroekonomi. Sebaliknya, di tengah gejolak kurs, otoritas moneter perlu menjadi leader dengan membuat berbagai upaya dalam melaklukan intervensi langsung di pasar valas dan obligasi; sedang otoritas fiskal menjadi follower, dengan mempersiapkan Jaring Pengaman dan mengurangi dampak lanjutan dari resiko sistemik di sektor finansial. Hanya saja, sekarang ini dibutuhkan tidak hanya policy mix makro, namun koordinasi kebijakan pada lingkungan metaekonomi. Lingkungan meta ini mencakup antisipasi terhadap natural disruption, sektoral, dan daerah. Mengintegrasikan kebijakan pertanian, industri, dan energi nasional, sehingga tercipta suatu sinergi dalam mengoptimalkan segala potensi yang kita miliki, guna menjamin terwujudnya food and energy security.
Koordinasi lintas sektor dan daerah amat dibutuhkan karena pola perencanaan Indonesia bersifat sektoral dan melibatkan 485 kabupaten/kota serta 33 provinsi. Apalagi akan diadakan pilkada di 15 provinsi dan 85 kabupaten/kota pada tahun ini. Ibarat lagu, lagu yang dimainkan berbagai macam. Ada keroncong, rock, jazz, gamelan, dan dangdut, dengan pemain dan penonton yang berbeda karakter dan perilaku. Inilah pentingnya “sang pemimpin” menjadi dirigen suatu orkestra kebijakan makro, sektoral, dan daerah.
Bagaimana langkah awal untuk mengantisipasi kondisi ini? Pertama, meningkatkan kinerja sektor riil sebagai penunjang fundamental ekonomi. Harus kita akui bahwa kinerja fundamental perekonomian kita beberapa tahun belakangan ini bukanlah disebabkan oleh peningkatan sektor riil, seperti peningkatan daya saing, kenaikan produktivitas, dan investasi sektor riil, tetapi lebih disebabkan pengaruh fluktuasi harga komoditas dan kinerja sektor keuangan. Sementara itu jika kita telaah lebih lanjut, tingkat pengangguran dan kemiskinan di Indonesia semakin meningkat, tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi (paradox of growth). Ini menandakan fundamental perekonomian kita artifisial dan semu. Fundamental perekonomian yang rapuh menciptakan ekspektasi negatif buat investor karena mencerminkan kondisi ketidakpastian.
Menjelang Pemilu 2009 tentunya meningkatkan eskalasi dan dinamika politik di Indonesia. Stabilnya politik dan keamanan menjadi pertimbangan utama investor dalam melakukan alokasi dan distribusi portofolionya. Apabila stabilitas polkam menjelang pemilu terkendali, lalu hasil pelaksanaan pemilu menghasilkan pemimpin-pemimpin yang dapat diterima oleh pasar, akhirnya meningkatkan kepercayaan dan kredibilitas pasar modal Indonesia.
Ketiga, regulasi yang market friendly. Pihak regulator harus selalu menciptakan kebijakan yang market friendly terhadap pasar, yaitu kebijakan yang dapat mengakomodasi keuntungan investor dengan tidak mengesampingkan kepentingan investor minoritas. Regulasi yang market friendly akan memberikan kenyamanan bagi investor untuk berinvestasi dengan horizon waktu jangka panjang. Investor melakukan investasi dasarnya adalah ekspektasi atas tingkat keuntungan/pengembalian dan tingkat risiko investasi. Dengan struktur perekonomian yang kuat, keamanan berinvestasi dan regulasi yang market friendly akan meningkatkan ekspektasi investor pada pasar modal Indonesia.
Momentum krisis keuangan AS ini merupakan kesempatan untuk mengubah persepsi pasar modal Indonesia sebagai pasar modal dengan karakter high risk high return menjadi karakter pasar modal yang dapat memberikan harapan tingkat keuntungan (expected return) yang optimal dengan tingkat risiko investasi yang minimum sehingga bisa menarik modal masuk.
Sejumlah pakar ekonom mengatakan bahwa di Indonesia krisis hanya terjadi di pasar modal. Krisis yang terjadi di pasar modal dinilai tidak akan mudah bertransmisi ke sektor lain mengingat kontribusi pasar modal dalam sistem keuangan Indonesia amat kecil karena bursa di Indonesia hanya membawa pengaruh 20% dari ekonomi Indonesia. Selain itu krisis pasar modal seperti ini tidak akan kembali mengulang seperti krisis pada tahun 1997 karena depresisasi rupiah padah tahun itu adalah 100% dengan inflasi 20% NPL perbankan 60% dan SBI 50%. Gejolak ekonomi yang terjadi saat ini hanya mendepresiasi rupiah sebesar 5%, inflasi 12,14% NPL perbankan 1% dan SBI 9,5%.
Namun Gejolak ini akan membawa kepada krisis atau tidak, kita harus selalu percaya bahwa krisis adalah peluang untuk memasuki era baru yang lebih baik. Semoga dunia bisa keluar dari krisis ini dengan situasi yang lebih baik. Dan semoga ekonom pemerintah Indonesia sudah pasang kuda-kuda melindungi ekonomi indonesia dari krisis ini. Kalau tidak, siap-siap tabungan kita semua di bank, hasil keringat kita bertahun-tahun, hilang dan menguap dalam krisis. Kita menjadi korban sistem ekonomi yang mengandalkan financial engineering bukan sistem yang berbasis sektor riil dan entrepreneurial.